Husna dan Lily #5
Aku memutuskan tidak menghabiskan hari di rumah Kak Hajrah pada Minggu itu. Resiko kedatangan tamu tak terduga terasa lebih besar dan tidak menyediakan penjelasan bagi yang heran; apa yang kami lakukan berduaan di rumah itu. Kusampaikan pada Husna, bahwa aku sudah hendak pulang.
Husna memanyunkan bibirnya setelah kuberitahu.
“Masak adek ditinggal sendirian..” katanya merajuk.
“Lha kan dulu-dulu kalo jaga rumah di sini adek memang selalu sendirian, kan?” kataku tersenyum.
“Itu beda.. sekarang adek sudah punya pacar, sudah ada kak Nanta. Ananta Pancaroba, si calon guru Fisika. Jadi mestinya ga sendirian lagi dong.. Ish..”
“Masih ada kali lain, kan dek.. Kakak khawatir ada orang datang. Kan lebih baik mencadangkan waktu ketimbang mepet trus kedapatan..” kataku menghampirinya, memeluk kepalanya.
“Huuu.. dasar kak Nanta cagur, paling bisa bikin penjelasan..” katanya sambil mendongak, meminta bibirnya dilumat.
Kami sedang duduk di ruang tengah. Aku di sofa, Husna di lantai di dekat kakiku. Kami berciuman lama, tahu akan perlu mencari waktu lagi untuk kesempatan seperti itu.
Seperti biasa, saat berciuman, tidak nyaman rasanya tanpa meremas “sesuatu”. Tanganku kemudian menyusup melalui tepi atas kerah tanktopnya. Posisi duduk Husna yang lebih rendah memudahkan tanganku mencapai gundukan payudaranya.
“Mmmmmhh.. Mmhhh.. Ahhhh..” Husna sulit menahan desah jika tanganku sudah bermain di dadanya.
“Kak Nanta pulang dulu ya, dek..” kutarik ciumanku ke jidatnya. Husna terpejam menikmati.
Aku lalu berdiri, Husna tetap bergeming. Sepertinya dia tidak mau mengantarku ke depan. Jadi aku hanya tersenyum, menoleh sebentar padanya, lalu melangkah keluar. Kupanaskan mesin motorku, masih di teras depan rumah.
Saat sudah dalam posisi siap berangkat, dari atas motor aku menoleh ke arah rumah. Di jendela kecil dekat pintu samping yang kulewati tadi, Husna menatapku. Dia tersenyum manis, lalu memeletkan lidah. Bibirnya mengerucut, memberiku ciuman jauh.
Bentuk bibirnya yang mungil namun tidak terlalu tipis, selalu membuatku gemas. Gerak ciuman barusan membuatku bimbang sejenak.
Akh, persetan. Aku ingin satu babak lagi. Kumatikan motorku, lalu setengah berlari, kembali memasuki rumah itu. Rumah bisu yang berbaik hati menjadi surga semalamku.
Husna membelalak heran melihatku membuka pintu.
“Kenapa, kak? Ada yang ketinggalan?” tanyanya, tetap berdiri di depan jendela.
“Iya, ini. Mmmmmmhhh..” kuterkam mungil bibirnya, memagutnya dengan buas. Husna membalasnya tidak kalah ganas.
Kami berciuman dalam posisi berdiri. Kusingkap tanktop hitam yang dikenakannya sejak sarapan tadi. Tanganku berputar ke belakang, melepas kait bra, lalu menmbaliknya ke atas.
Menyembullah dua bukit indah payudaranya. Bercak merah samar menghiasi di beberapa titik, bekas cumbuanku semalam. Kuturunkan wajahku, menekuk lutut, mencucup puting susunya bergantian.
“Ahhhhh.. kak, kenapa jadi pengen lagi? Aaaaahh..” Husna mendesah sambil memeluk leherku, menarik dan membenamkan wajahku lebih dalam ke buah dadanya.
Aku tidak kuasa menjawab. Kepalaku berdenging penuh hasrat. Kutarik celana pendek Husna, terlepas dari bulat pinggulnya. Sekali lagi kutarik juga celana dalamnya hingga lepas, jatuh melingkari pergelangan kakinya.
Kuloloskan kedua celanaku dengan tergesa. Dalam satu hentakan, batang penisku langsung terbebas, terhunus, mengacung di perut Husna.
Aku tahu, Husna saat ini sudah basah. Hisapan-hisapanku di puting susunya sangat membantu mengencerkan pelumas alami di liang vaginanya.
Lalu kuangkat sebelah pahanya, melingkar di pinggangku. Dalam posisi berdiri, kucoba melakukan penetrasi. Husna beringsut menyesuaikan diri. Ternyata dia pun sudah tak sabar ingin kumasuki.
Beberapa percobaan kulakukan, tidak berhasil juga. Lalu kuingat sesuatu. Sesuatu yang kudapat dulu dari sebuah film dewasa yang kutonton saat SMA.
Dengan cepat kuputar tubuh Husna hingga membelakangiku. Kini Husna berdiri menghadap jendela. Tangannya refleks menangkap kisi-kisi jendela, seperti bergantungan di sana.
Kusejajarkan posisi penisku ke bawah pantatnya. Sulit menemukan lubang vagina wanita jika dia berdiri tegak seperti pria, ternyata. Film semi-porn tidak sepenuhnya benar dalam hal ini, hihi..
Kutekan lembut punggung Husna, agar dia sedikit membungkuk. Posisi baru ini membuat pantatnya sedikit mencuat ke atas. Belahan vaginanya nampak jelas dari belakang.
“Kak, mau apa..” Husna menolehkan kepalanya.
“Sabar, dek, kakak mau lagi..” kataku kalem.
Husna kembali membelakangiku, menunggu. Badannya setengah membungkuk, tangannya memegang ambang bawah jendela. Kuarahkan kepala batang kejantananku, membelah vaginanya..
“Aaaahh.. kering lagi, kak..” Husna merintih, vaginanya tidak sebasah tadi, ternyata.
Dengan tangan, kugerak-gerakkan penisku menggerus belahan kemaluan Husna, kugesekkan naik turun searah celah sempitnya. Perlahan cairan pelumas alami mulai menyebar, membasahi relung vagina Husna, juga kepala penisku.
Kurasakan penisku melesak sendiri menembus jepitan bibir luar vagina Husna.
“Aaaaahhh.. kak.. Aaaaaaaaaahhh.. Ooouuuhh..” Husna merintih lagi, kali ini lebih merdu, haha..
Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan lembut. Pada setiap gerakan maju, penisku masuk lebih dalam dari sebelumnya.
Amboi, suhu sekalian, posisi menusuk dari belakang ternyata berjuta rasanya. Posisi kaki wanita yang berdiri tidak terlalu mengangkang membuat jepitannya lebih grip. Belahan vagina yang terekspose sepenuhnya membuat penis menghujam jauh lebih dalam, seperti masuk seluruhnya. Belum lagi sensasi bulatan pantat yang kenyal memijat paha dan perut si lelaki, memantul-mantul dengan empuk.
Kupompa perlahan liang senggama Husna. Husna mengerang dan menjerit bergantian. Badannya terpuruk semakin turun, tidak kuat menahan kenikmatan di area bawah tubuhnya.
“Ooouuhhhhh.. dalam sekali, kak.. Aaaaaaahhh..” jerit Husna berkali-kali.
Posisi badannya yang semakin merunduk, bertumpu di jendela membuat vaginanya semakin mudah kuakses. Kutingkatkan kecepatan dan kekerasan hujaman penisku pada setiap kali sodokan.
Tubuh Husna beriak bergetar menyambut tusukan demi tusukan yang kulancarkan.
“Aaaaaaahh.. Oouuuuhhhh.. Kak, terus, kak, lebih dalam.. Aaaaahhh..” Husna tidak lagi malu meminta.
Desahan wanita selalu membuat pria lebih bersemangat memompa, bukan, suhu sekalian? Itulah mengapa aspek GFE termasuk hal yang diperhatikan dalam memilih WP. Mereka yang nilai GFE-nya tinggi biasanya mendesahnya asyik, hihi..
Suara Husna yang terus mengerang dan mendesah membuatku semakin menggila. Kuraih buah dadanya yang menggantung dengan kedua belah tangan. Husna sedikit menegakkan badan, menyerahkan susunya untuk kuremas-remas. Tangan kanannya terulur ke belakang, mencoba memegang pinggulku, menarikku agar terus menusuk lebih dalam.
“Terus, kak.. Ooouuhhhh.. adek hampir sampai.. Aaaaaahhh..”
Kurasakan orgasme-ku juga sudah di ambang jalan. Sedikit lagi laharku menyembur. Kupercepat gerakanku, kuperdalam sodokanku. Lalu..
“Aaaaaahhh.. dek, kakak keluar.. Aaaaaaaahhhh..” seruku tertahan, seolah berbicara lewat hidung.
“Jangan stop, kak.. terus.. Oooouuhhhhh.. Sssssshhh… Ooouuhhh..” Husna mendesak. Tangan kanannya menarik-dorong pinggulku, memintaku tidak memperlambat ritme.
Meski sudah ejakulasi, kecepatan gerakku tidak kuturunkan. Kurasakan basah vagina Husna sampai membanjir, meleleh turun menyusuri pahanya. Itu cairan kami berdua. Terus kusodok dengan kecepatan tinggi.
“Ooouuuhhh.. iya, kak, begitu.. adek sedikit lagi.. Ooouuhhh..”
Lalu tubuhnya menegang. Tangan yang tadinya meremas pinggangku kini mencengkeram erat. Buku jarinya memutih di ambang jendela. Husna sedang orgasme dengan hebatnya.
“Aaaaaaahhh.. kak Nanta.. Ahhhhh..” desahnya meredakan engah.
Kupeluk tubuhnya dari belakang. Husna berdiri tegak, penisku terlepas dari liangnya. Husna bersandar ke depan, di jendela. Tanganku menahan tubuhnya, menangkup dada.
Perlahan nafas dan detak jantung kami pulih. Setengah terengah kami merapikan pakaian.
“Kak Nanta pulang, gih.. adek mau bobo sampe sore.. hihi..” kata Husna tiba-tiba, mendorongku keluar dari pintu.
Aku tertawa, melangkah keluar. Kunyalakan mesin motorku, lalu mengarah pulang.
***
Pukul 11 malam. Aku terbangun di pos ronda. Sebuah sms menggetarkan ponselku.
adek baru bangun nih.. capek kak..
Sedang kuketik balasan saat pesan berikutnya masuk lagi,
tapi enak, mau lagi.. luv u, kak Nanta lale..
Aku tersenyum, sms nya tidak jadi kubalas. Kukantungi kembali ponselku, lalu kembali rebah. Sekali tidak ikut patroli ronda tidak mengapa, lah ya.. Haha..
Lalu sebelum lena menutup terangku, sebuah kesadaran lain menimpaku; aku tidak pernah benar-benar mengatakan "cinta" pada Husna.
Tidak bahkan dalam balasan pesan singkat.
Sedikit gesekan saja pada paha bagian dalamnya – lanjut Husna bercerita – dapat membuatnya tanpa sadar mendesah. Berlari saat berolahraga membuat selangkangannya basah! Haha..
Aku tidak tahu, apakah memang demikian yang dialami umumnya remaja belia setelah mengalami wisata birahi yang intens dalam semalam. Ataukah ini hanya terjadi pada gadisku seorang.
Sejak pergumulan panjang kami di rumah kak Hajrah, Husna secara rutin mengirimiku pesan gambar via MMS. Isi pesannya selalu membuatku dumba’-dumba’ gleter.
Dumba’-dumba’ gleter kurang lebih berarti mengalami debar jantung yang tidak keruan, tanpa penjelasan.
Betapa tidak, keesokan hari setelah hari itu, dikirimkannya gambar payudaranya, dengan caption “Lebam-lebam nih, bekas cupang kakak...”
Pada malam harinya, giliran gambar pahanya sebelah dalam. “Lecet nih.. Kak Nanta lale sih..”
Demikian terus menerus selama beberapa hari, seperti melaporkan perkembangan. Bahkan sekali waktu dikirimkannya gambar vaginanya, hanya ditutupi dua jari. “Kalo ini minta lagi, Kak Nanta harus siaga, ya..”
Pesan-pesan dan gambar-gambar itu membuatku nyaris gila. Gadisku sedang dalam masa bahagia dimabuk cinta. Dia tiba pada usia eksplorasi diri, bertepatan dengan narsisme remaja, serta percobaan exhibisi. Tak bisa kubayangkan apabila masa itu gadget dan transmisi sudah secanggih saat ini. Husna patut bersyukur, belum ada media sosial pada saat itu, sehingga kebodohan remajanya hanya menjadi miliknya sendiri, hihi..
Tetapi padatnya kegiatan kuliah dan sekolah membuat kami berdua sulit mencari waktu berduaan. Kami tidak pernah lagi mendapat kesempatan setelah malam di rumah kak Hajrah. Kesibukan kami datang bergantian, kadang berbarengan. Demikian berlangsung selama hampir dua bulan. Saat itu sudah mendekati masa ujian sekolah Husna untuk naik kelas tiga. Sementara aku memasuki masa praktik peer teaching.
Demikian seterusnya hingga Husna naik ke kelas tiga. Kemudian pelajaran baru kami datang…
***
Aku sedang berdiri di kelas micro teaching saat seorang teman masuk menghampiri dan berbisik,
“Nan, ada yang nyari tuh.. nangis-nangis, haha..” katanya meledek. Kuintip sebentar keluar, terkejut ketika melihat Husna berdiri dengan raut bingung di tepi trotoar.
Aku pamit permisi kepada dosen pengawas, dengan sopan kujelaskan sebuah alasan yang kukarang sekenanya, agar giliran mengajarku diundur. Sesuatu tentang adik sepupu dan kabar duka. Aku setengah berlari keluar, menghampiri Husna. Demi melihatku berderap ke arahnya, embun di sudut matanya mengembang tumpah..
Husna terisak menutup wajah. Kutarik tangannya menuju sebuah taman melingkar di samping tempat parkir. Pada sore hari seperti ini, area parkir sudah sepi. Pemilik kendaraan lebih senang memarkir kendaraan di depan gedung dekanat agar lebih mudah diawasi. Pencurian part kendaraan sering terjadi di sini.
“Adek, kenapa? Kok bisa sampai ke sini?” tanyaku perlahan, duduk di sampingnya.
“Takut, kak..” ucapnya terbata di sela tangis. Tidak perlu kugambarkan suara isak tangisnya, tidak ada estetika di sana.
Aku terdiam, tidak bertanya lagi. Separuh benakku menduga-duga. Separuh lagi terdiam hanya karena enggan mengejar. Pergaulan mengajarkanku bahwa percuma mencecar jawaban dari seorang wanita yang menangis. Lebih baik menunggu tangisnya mereda, lalu biarkan dia mulai bercerita.
Husna butuh waktu lama sampai tenang dan guncangan bahunya mereda.
“Kak, adek sudah sejak pagi muntah-muntah..” dia memulai cerita.
“Harusnya tanggal ini adek sudah haid, tapi belum ada juga. Adek takut, kak..” lanjutnya, tangisnya pecah kembali.
Dugaan benak kecilku benar. Ini yang kubayangkan semula, saat pertama melihat Husna berdiri dengan raut bingungnya. Pikiranku yang terbiasa mengatur masalah langsung bekerja. Beberapa nama yang dapat kuhubungi dan kuminta bantuannya mulai bermunculan di kepalaku. Solusinya begitu jelas. Lalu pelan, kurangkul bahunya,
“Tidak ada gunanya menduga-duga, kita pastikan saja ya, dek..”
“Kakak antar pulang sekarang, di perjalanan kakak singgah beli alat test, nant..” lanjutku.
“Gimana kalo iya, kak?” Husna memotong perkataanku.
“Kita urus nanti.” aku memungkas tegas.
Kuajak dia pulang. Seperti kataku tadi, aku singgah di sebuah apotik yang terletak di belakang sebuah rumah sakit. Rumah sakit ini terbilang tertua di kotaku. Apotik yang kutuju adalah rekomendasi teman-teman kampusku. Tidak tepat dikatakan rekomendasi, sebenarnya. Hanya mendengar cerita mereka, mengenai beberapa apotik yang tidak terlalu ketat dalam menjual beberapa “produk”. Test pack generik, cytotec, gastrul, genekosiddan varian lain misoprostol dapat dibeli di sini. Demikian pula dengan alat kontrasepsi. Menemukan barang-barang demikian saat itu terbilang sulit, lho, suhu sekalian..
Kuturunkan Husna beberapa meter dari gerbang kompleks, di tempat biasa. Kuselipkan test pack di genggamannya. Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa, kami sama-sama tidak paham cara pakainya. Setidaknya Husna bisa membaca petunjuk pada kemasannya.
Kutinggalkan Husna di sana, kupacu motorku pulang, memikirkan percabangan rencana.
***
Husna meneleponku pagi-pagi sekali.
“Kak.. Adek kayaknya cuma masuk angin, kemarin..” katanya serak.
“Kenapa? Hasilnya cuma 1 strip yah? Dicoba lagi besok, biar yakin..” jawabku.
“Adek ga sempat test, semalam sudah mulai haid..”
Perlahan darah merayapi wajahku, meronakan romanku yang pucat semalaman. Duh, leganya..
Kami melanjutkan obrolan dengan ringan. Hari itu Husna tidak masuk sekolah, alasannya karena nyeri datang bulan. Padahal mungkin sebenarnya dia hanya malu dilihat orang dengan mata sembab hasil menangis seharian.
Kami sama-sama berjanji lebih berhati-hati saat bercinta, bukannya berjanji tidak lagi melakukannya. Haha, dasar remaja..
Kata-kata terakhir Husna saat hendak mengakhiri obrolan-lah yang menjejali pikiranku semalaman setelahnya. Katanya,
“Tapi jadinya kak Nanta mesti kerja keras, dong ya..”
“Ng? Maksudnya?”
“Kak Nanta ga boleh lagi “sampai” duluan. Soalnya kak Nanta kalo “duluan” pasti buangnya di dalam, kan, hihi..”
Benar juga yah..
***
Husna jadi lebih sering main ke kampusku. Terlebih saat itu, tahun ketiga dia di SMA, Husna mengikuti bimbingan belajar intensif di sebuah lembaga bimbel yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampusku. Menjelang akhir semester, lembaga ini bahkan sering menggelar event “nightmare.” Sebuah kegiatan malam minggu, di mana peserta bimbingan mengikuti pembelajaran sampai larut malam, kemudian menginap hingga dini hari.
Kami jadi sering mencuri waktu berduaan di kampus. Dia membolos nightmare, tentunya. Aku sudah sangat mengenal spot dan waktu yang ideal untuk berpacaran di lingkungan fakultasku. Apabila hendak bercengkerama mendengarkan musik, kami dapat duduk-duduk di pelataran depan perpustakaan, tempat divisi musik UKM Seni menggelar latihan. Atau di deretan kantin, jika hendak menikmati kudapan murah meriah. Kami juga bisa duduk-duduk di baruga fakultas sebelah, jika ingin melihat rekan sastra berdeklamasi, atau peragaan teman-teman seni tari. Tetapi tempat favorit kami adalah tempat yang tidak biasa.
Aku aktif sebagai pengurus di sebuah lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas. Tugasku sebagai unit umum memberiku akses kepada pengelolaan inventaris, termasuk ruang sekretariat. Sekretariat LK ini ditempatkan di lantai tiga sebuah gedung berbentuk L, tepat di sudutnya.
Akibat seringnya terjadi bentrokan mahasiswa di fakultas sebelah, dekanat memutuskan menambah keamanan pada gedung ini, dengan memasang pagar besi di ujung setiap tangga. Terdapat dua pagar besi di setiap perbatasan lantai, dari lantai satu sampai lantai tiga.
Pada malam hari, pihak keamanan kampus akan mengunci pagar terbawah. Mahasiswa yang sudah melaporkan diri tinggal berjaga di sekretariat akan diijinkan untuk bermalam, tetapi tidak dapat keluar lagi setelah pagar paling bawah dikunci.
Husna sering sekali kuselundupkan pada sore hari ke sekretariatku, tepat sebelum para satpam mengunci pagar terbawah. Jika beruntung, Husna dan aku akan menghabiskan semalaman bergelut di dinginnya lantai sekretariat yang hanya berlapis karpet. Bercinta baginya, bagiku melatih stamina. Kami lalu bersenggama semalaman, dengan semua gaya yang kami bisa pikirkan.
Jika tidak beruntung, terkadang kami tidak hanya berdua. Ada teman lain yang ikut menginap bersama. Kalau sudah begitu, kami gunakan tempat kedua...
***
“Oouuuhhhhh.. Kak.. Aaahhhhh.. terussssssss..hhhh.. Aaahhhh..” Husna tidak sanggup lagi menahan rintihannya.
Tubuh telanjangnya yang indah sebagian terlindungi sinar lampu oleh lengkungan tepi tangga di atas kami. Pakaiannya teronggok berantakan di bawah kami. Kerudung, dalaman hingga kaos kaki.
Teman-temanku di atas, di sekretariat mungkin mendengarnya. Tetapi persetan, toh mereka tahu aku dan Husna melakukan ini hampir setiap waktu. Setiap kali Husna datang ke kampus sore hari untuk menemuiku.
Hari ini kami tidak beruntung. Sekretariat sedang ramai. Tetapi birahi harus dipenuhi. Itu hasrat tertinggi yang sifatnya manusiawi, pemenuhannya bersifat surgawi.
Husna berdiri bersandar di dinding, kakinya terangkat sebelah, berpijak di rail besi penahan tangga. Aku berdiri di hadapannya, memompa vaginanya yang lebar terkuak. Tanganku menggenggam buah pantatnya, menarik berirama, sesuai hantaman batangku yang tegak berkilat, basah oleh cairan vagina Husna.
“Oooouuhhh.. Aaaaaahhh..” terdengar lirih berulang, setiap kali kutekan tusukanku dalam-dalam.
Kami bercinta dengan berdiri di selasar tangga. Sebuah area persegi di tikungan tangga lantai dua menuju lantai tiga. Aku memegang kunci semua pagar besi yang ada di gedung ini, kecuali pagar terbawah dan kunci ruang kuliah. Kunci pagar di lantai dasar dan kunci ruangan hanya boleh dipegang security.
Pada titik ini, kami tidak terlihat dari lantai bawah, tidak juga dari atas. Pagar besi di ujung atas tangga kukunci, memenjarakan teman-temanku di lantai tiga. Mereka – mungkin – hanya mendengar suara kami, tapi tidak bisa melihatnya. Pilihanku bukan di balkon lantai dua, sebab dapat terlihat dari bangunan lain. Ruang kuliah yang terkunci juga bukan pilihan. Di tempat ini, gaya kami terbatas pada berdiri berhadapan, doggy style atau duduk saling pangku, varian lain dari woman on top.
Dengan ritme teratur, kugenjot terus vagina Husna. Sekali sodokan dalam, beberapa kali tusukan ringan, kupadukan dengan gerak pantat memutar, mengubek-ubek liangnya yang licin dan terasa memilin. Husna menggigit bibirnya dan mendesis setiap kali kulakukan tusukan ringan perlahan.
“Sssssshhhhhh.. Mmmmmhh.. Aaaahhh.. Enak, kak.. lagi.. lagi.. Hhhhmmm..”
Aku belajar dari permainan-permainan kami belakangan ini, bahwa untuk memberikan orgasme pada pasangan wanita, terlebih dulu kesampingkan keinginan untuk cepat menuntaskan permainan. Kendalikan ritme gerakan. Memang nikmat yang dirasakan wanita jika kita menghantam memeknya dengan keras dan dalam, tetapi tusukan pelan beberapa kali dengan diselingi satu atau dua kali hujaman penuh akan mengulur waktu menjadi lebih lama. Untuk mengantarkan wanita orgasme lebih dulu, teman terbaik kita adalah waktu.
Aku selalu berusaha membuat Husna orgasme beberapa kali lebih dulu sebelum menuntaskan ejakulasiku. Hal ini membuatku selalu bisa “menarik diri” tepat waktu. Menghindarkan kami dari kemungkinan terjadinya fertilisasi internal. Seperti kali ini, sudah kubuat Husna orgasme empat kali.
“Aaaaaaahhh.. Oooouuhhh.. Kak.. Adek hampir... Aaaaahhh..” Husna mencengkeram sebelah tanganku yang masih menangkup mangkuk pantatnya. Kutundukkan wajahku, menghisap dalam puting susunya bergantian, sebelah menyebelah. Kunaikkan tempo gerakan. Kuhisap kuncup bukitnya dalam-dalam, kugigit-gigit ringan.
“Mmmmmhhh.. Aaaaaaahhh.. Ouuuuhhhh.. Kakk.. terus, kak.. begitu.. Ooouuhhh..”
Kurasakan vagina Husna berdenyut, tubuhnya berguncang hebat, kakinya mengejang. Gigitanku di puting susunya memang selalu membantu menambah nikmat sensasi yang Husna rasakan. Kepalanya terangkat ke belakang, tubuhnya melengkung indah, lalu kaku kemudian..
“Aaaaaaaaaahhhhhhh.. Aaaaaaaaahhhhh.. Mmmmmmmmhhhhh.. Aaaaaaahh..” desah panjang Husna menandakan dia tiba pada ujung pendakian, puncak tertinggi kenikmatan.
Setiap kali Husna mencapai orgasme pertama, orgasmenya yang kedua dan seterusnya jadi lebih cepat. Ini mungkin karena orgasme pertama membuat sel syaraf sensori di area klitoral dan vaginalnya menjadi lebih peka. Husna mungkin merasa aku yang perkasa, tetapi sebenarnya dia yang mudah orgasmenya, haha..
Tubuhnya perlahan melemas, nafasnya memberat, kakinya melemas seperti tidak bertulang. Kubalikkan badannya membelakangiku, menghadap void tangga. Husna bertopang pada rail tangga dengan dada. Tangannya terentang ke samping, menggenggam besi penahan itu di samping badannya.
Tubuh Husna membungkuk menyesuaikan diri, dia tahu maksudku. Perlahan kuarahkan batang penisku ke gundukan daging terbelah yang indah nan basah, yang menyembul di bawah pantatnya. Sensasi nikmat saat vagina sempit terbelah, selalu membuatku tak sadar memejamkan mata.
Penisku kembali ke dalam jalur pacunya. Kini saatnya bermain keras. Kekasihku sudah mendapat beberapa kali orgasmenya, kini giliranku. Kugoyangkan pantatku maju dengan penuh, menusuk dalam hingga terasa membentur dinding rahimnya yang terjauh..
“Ooouuhhh.. Kak... aaaaaaahh..”
Kutarik cepat lalu kusodokkan kembali. Kulakukan terus dengan ritme cepat, Husna benar-benar menikmati. Tanganku terjulur ke depan, meremas susunya dengan keras. Ibu jari dan telunjukku bergerak memilin puting susunya, memutar-mutar, mencubit dan menarik sesuka hati. Husna selalu suka putingnya dimainkan saat bersetubuh.
Gerakan kami semakin liar. Husna pun menggerakkan pantatnya maju mundur, menyambut goyangan pinggulku, sodokan demi sodokan.
Suara tepukan pantatnya dengan bagian depan tubuhku terdengar nyaring, ditingkahi desisan, erangan dan jeritan Husna yang berusaha diredamnya. Kami bergerak selaras, seperti berdansa dengan gerak kontemporer senggama, diiringi musik ritmis monoton serta lirik berupa rintihan dari bibir Husna.
Lalu setelah ratusan kali sodokan kuat dan dalam, kurasakan sensasi tak asing, saat cairan panas nan kental hendak keluar dari ujung penisku.
“Aaaaaahhh.. dek, kakak samp.. aaaaahhh..” kutarik penisku pada saat yang tepat, sesaat kemudian, pejuku menyembur menyirami belahan pantat Husna, melintasi punggung hingga ke tengkuknya.
Kami terengah mengatur nafas, belum sanggup mengubah posisi. Kelelahan seketika mendera tubuhku. Pendakian kenikmatan memang dapat menyembunyikan rasa lelah persetubuhan, tetapi orgasme membuat rasa lelahnya terasa berkali lipat lebih berat kemudian.
Aku dan Husna membersihkan diri dengan tissue yang sebelumnya selalu kusiapkan. Berpakaian, lalu membuka kunci pagar, menyelinap kembali ke sekretariat. Kami mengendap-endap di sela tubuh teman-temanku yang – kelihatannya – lelap tertidur di lantai ruangan. Husna selalu diterima di sini, dan dibolehkan tidur di ruang perpustakaan sekretariat.
Husna mengunci pintu di dalam, aku merebahkan diri di samping teman-temanku di luar. Aku hampir tertidur saat ada – entah siapa – yang berbisik perlahan, “Nyamanna tawwah..” diikuti dengus dan cekikikan tawa kecil teredam teman-temanku. Mereka ternyata mendengarkan..
***
Nyamanna tawwah kurang lebih berarti; asyik nih ye..
Semacam ledekan yang juga mengandung rasa kagum dan iri, hihi..