September 2016

Friday, 30 September 2016

Husna dan Lily #5


Kami sarapan dalam diam, hanya sesekali bertatapan. Aku bingung, setiap kali hendak memulai percakapan, yang terpikir di kepalaku hanya tentang persetubuhan. Setiap kali menatap ke arahnya, yang kulirik pertama kali adalah bibirnya, dada dan pantatnya..

Aku memutuskan tidak menghabiskan hari di rumah Kak Hajrah pada Minggu itu. Resiko kedatangan tamu tak terduga terasa lebih besar dan tidak menyediakan penjelasan bagi yang heran; apa yang kami lakukan berduaan di rumah itu. Kusampaikan pada Husna, bahwa aku sudah hendak pulang.

Husna memanyunkan bibirnya setelah kuberitahu.

“Masak adek ditinggal sendirian..” katanya merajuk.

“Lha kan dulu-dulu kalo jaga rumah di sini adek memang selalu sendirian, kan?” kataku tersenyum.

“Itu beda.. sekarang adek sudah punya pacar, sudah ada kak Nanta. Ananta Pancaroba, si calon guru Fisika. Jadi mestinya ga sendirian lagi dong.. Ish..”

“Masih ada kali lain, kan dek.. Kakak khawatir ada orang datang. Kan lebih baik mencadangkan waktu ketimbang mepet trus kedapatan..” kataku menghampirinya, memeluk kepalanya.

“Huuu.. dasar kak Nanta cagur, paling bisa bikin penjelasan..” katanya sambil mendongak, meminta bibirnya dilumat.

Kami sedang duduk di ruang tengah. Aku di sofa, Husna di lantai di dekat kakiku. Kami berciuman lama, tahu akan perlu mencari waktu lagi untuk kesempatan seperti itu.

Seperti biasa, saat berciuman, tidak nyaman rasanya tanpa meremas “sesuatu”. Tanganku kemudian menyusup melalui tepi atas kerah tanktopnya. Posisi duduk Husna yang lebih rendah memudahkan tanganku mencapai gundukan payudaranya.

“Mmmmmhh.. Mmhhh.. Ahhhh..” Husna sulit menahan desah jika tanganku sudah bermain di dadanya.

“Kak Nanta pulang dulu ya, dek..” kutarik ciumanku ke jidatnya. Husna terpejam menikmati.

Aku lalu berdiri, Husna tetap bergeming. Sepertinya dia tidak mau mengantarku ke depan. Jadi aku hanya tersenyum, menoleh sebentar padanya, lalu melangkah keluar. Kupanaskan mesin motorku, masih di teras depan rumah.

Saat sudah dalam posisi siap berangkat, dari atas motor aku menoleh ke arah rumah. Di jendela kecil dekat pintu samping yang kulewati tadi, Husna menatapku. Dia tersenyum manis, lalu memeletkan lidah. Bibirnya mengerucut, memberiku ciuman jauh.

Bentuk bibirnya yang mungil namun tidak terlalu tipis, selalu membuatku gemas. Gerak ciuman barusan membuatku bimbang sejenak.

Akh, persetan. Aku ingin satu babak lagi. Kumatikan motorku, lalu setengah berlari, kembali memasuki rumah itu. Rumah bisu yang berbaik hati menjadi surga semalamku.

Husna membelalak heran melihatku membuka pintu.

“Kenapa, kak? Ada yang ketinggalan?” tanyanya, tetap berdiri di depan jendela.

“Iya, ini. Mmmmmmhhh..” kuterkam mungil bibirnya, memagutnya dengan buas. Husna membalasnya tidak kalah ganas.

Kami berciuman dalam posisi berdiri. Kusingkap tanktop hitam yang dikenakannya sejak sarapan tadi. Tanganku berputar ke belakang, melepas kait bra, lalu menmbaliknya ke atas.

Menyembullah dua bukit indah payudaranya. Bercak merah samar menghiasi di beberapa titik, bekas cumbuanku semalam. Kuturunkan wajahku, menekuk lutut, mencucup puting susunya bergantian.

“Ahhhhh.. kak, kenapa jadi pengen lagi? Aaaaahh..” Husna mendesah sambil memeluk leherku, menarik dan membenamkan wajahku lebih dalam ke buah dadanya.

Aku tidak kuasa menjawab. Kepalaku berdenging penuh hasrat. Kutarik celana pendek Husna, terlepas dari bulat pinggulnya. Sekali lagi kutarik juga celana dalamnya hingga lepas, jatuh melingkari pergelangan kakinya.

Kuloloskan kedua celanaku dengan tergesa. Dalam satu hentakan, batang penisku langsung terbebas, terhunus, mengacung di perut Husna.

Aku tahu, Husna saat ini sudah basah. Hisapan-hisapanku di puting susunya sangat membantu mengencerkan pelumas alami di liang vaginanya.

Lalu kuangkat sebelah pahanya, melingkar di pinggangku. Dalam posisi berdiri, kucoba melakukan penetrasi. Husna beringsut menyesuaikan diri. Ternyata dia pun sudah tak sabar ingin kumasuki.

Beberapa percobaan kulakukan, tidak berhasil juga. Lalu kuingat sesuatu. Sesuatu yang kudapat dulu dari sebuah film dewasa yang kutonton saat SMA.

Dengan cepat kuputar tubuh Husna hingga membelakangiku. Kini Husna berdiri menghadap jendela. Tangannya refleks menangkap kisi-kisi jendela, seperti bergantungan di sana.

Kusejajarkan posisi penisku ke bawah pantatnya. Sulit menemukan lubang vagina wanita jika dia berdiri tegak seperti pria, ternyata. Film semi-porn tidak sepenuhnya benar dalam hal ini, hihi..

Kutekan lembut punggung Husna, agar dia sedikit membungkuk. Posisi baru ini membuat pantatnya sedikit mencuat ke atas. Belahan vaginanya nampak jelas dari belakang.

“Kak, mau apa..” Husna menolehkan kepalanya.

“Sabar, dek, kakak mau lagi..” kataku kalem.

Husna kembali membelakangiku, menunggu. Badannya setengah membungkuk, tangannya memegang ambang bawah jendela. Kuarahkan kepala batang kejantananku, membelah vaginanya..

“Aaaahh.. kering lagi, kak..” Husna merintih, vaginanya tidak sebasah tadi, ternyata.

Dengan tangan, kugerak-gerakkan penisku menggerus belahan kemaluan Husna, kugesekkan naik turun searah celah sempitnya. Perlahan cairan pelumas alami mulai menyebar, membasahi relung vagina Husna, juga kepala penisku.

Kurasakan penisku melesak sendiri menembus jepitan bibir luar vagina Husna.

“Aaaaahhh.. kak.. Aaaaaaaaaahhh.. Ooouuuhh..” Husna merintih lagi, kali ini lebih merdu, haha..

Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan lembut. Pada setiap gerakan maju, penisku masuk lebih dalam dari sebelumnya.

Amboi, suhu sekalian, posisi menusuk dari belakang ternyata berjuta rasanya. Posisi kaki wanita yang berdiri tidak terlalu mengangkang membuat jepitannya lebih grip. Belahan vagina yang terekspose sepenuhnya membuat penis menghujam jauh lebih dalam, seperti masuk seluruhnya. Belum lagi sensasi bulatan pantat yang kenyal memijat paha dan perut si lelaki, memantul-mantul dengan empuk.

Kupompa perlahan liang senggama Husna. Husna mengerang dan menjerit bergantian. Badannya terpuruk semakin turun, tidak kuat menahan kenikmatan di area bawah tubuhnya.

“Ooouuhhhhh.. dalam sekali, kak.. Aaaaaaahhh..” jerit Husna berkali-kali.

Posisi badannya yang semakin merunduk, bertumpu di jendela membuat vaginanya semakin mudah kuakses. Kutingkatkan kecepatan dan kekerasan hujaman penisku pada setiap kali sodokan.

Tubuh Husna beriak bergetar menyambut tusukan demi tusukan yang kulancarkan.

“Aaaaaaahh.. Oouuuuhhhh.. Kak, terus, kak, lebih dalam.. Aaaaahhh..” Husna tidak lagi malu meminta.

Desahan wanita selalu membuat pria lebih bersemangat memompa, bukan, suhu sekalian? Itulah mengapa aspek GFE termasuk hal yang diperhatikan dalam memilih WP. Mereka yang nilai GFE-nya tinggi biasanya mendesahnya asyik, hihi..

Suara Husna yang terus mengerang dan mendesah membuatku semakin menggila. Kuraih buah dadanya yang menggantung dengan kedua belah tangan. Husna sedikit menegakkan badan, menyerahkan susunya untuk kuremas-remas. Tangan kanannya terulur ke belakang, mencoba memegang pinggulku, menarikku agar terus menusuk lebih dalam.

“Terus, kak.. Ooouuhhhh.. adek hampir sampai.. Aaaaaahhh..”

Kurasakan orgasme-ku juga sudah di ambang jalan. Sedikit lagi laharku menyembur. Kupercepat gerakanku, kuperdalam sodokanku. Lalu..

“Aaaaaahhh.. dek, kakak keluar.. Aaaaaaaahhhh..” seruku tertahan, seolah berbicara lewat hidung.

“Jangan stop, kak.. terus.. Oooouuhhhhh.. Sssssshhh… Ooouuhhh..” Husna mendesak. Tangan kanannya menarik-dorong pinggulku, memintaku tidak memperlambat ritme.

Meski sudah ejakulasi, kecepatan gerakku tidak kuturunkan. Kurasakan basah vagina Husna sampai membanjir, meleleh turun menyusuri pahanya. Itu cairan kami berdua. Terus kusodok dengan kecepatan tinggi.

“Ooouuuhhh.. iya, kak, begitu.. adek sedikit lagi.. Ooouuhhh..”

Lalu tubuhnya menegang. Tangan yang tadinya meremas pinggangku kini mencengkeram erat. Buku jarinya memutih di ambang jendela. Husna sedang orgasme dengan hebatnya.

“Aaaaaaahhh.. kak Nanta.. Ahhhhh..” desahnya meredakan engah.

Kupeluk tubuhnya dari belakang. Husna berdiri tegak, penisku terlepas dari liangnya. Husna bersandar ke depan, di jendela. Tanganku menahan tubuhnya, menangkup dada.

Perlahan nafas dan detak jantung kami pulih. Setengah terengah kami merapikan pakaian.

“Kak Nanta pulang, gih.. adek mau bobo sampe sore.. hihi..” kata Husna tiba-tiba, mendorongku keluar dari pintu.

Aku tertawa, melangkah keluar. Kunyalakan mesin motorku, lalu mengarah pulang.

***

Pukul 11 malam. Aku terbangun di pos ronda. Sebuah sms menggetarkan ponselku.

adek baru bangun nih.. capek kak..

Sedang kuketik balasan saat pesan berikutnya masuk lagi,

tapi enak, mau lagi.. luv u, kak Nanta lale..

Aku tersenyum, sms nya tidak jadi kubalas. Kukantungi kembali ponselku, lalu kembali rebah. Sekali tidak ikut patroli ronda tidak mengapa, lah ya.. Haha..

Lalu sebelum lena menutup terangku, sebuah kesadaran lain menimpaku; aku tidak pernah benar-benar mengatakan "cinta" pada Husna.

Tidak bahkan dalam balasan pesan singkat.

Husna bercerita, bahwa lelah fisik menderanya selama empat hari, sejak kami menghabiskan malam dan pagi bersama di rumah kak Hajrah. Kantuk mengganggunya di sekolah. Rasa pegal menggantung panjang di keempat tungkainya, seperti bayangan senja. Tetapi yang paling mengganggu – katanya – adalah meningkatnya rasa peka pada organ kewanitaannya.

Sedikit gesekan saja pada paha bagian dalamnya – lanjut Husna bercerita – dapat membuatnya tanpa sadar mendesah. Berlari saat berolahraga membuat selangkangannya basah! Haha..

Aku tidak tahu, apakah memang demikian yang dialami umumnya remaja belia setelah mengalami wisata birahi yang intens dalam semalam. Ataukah ini hanya terjadi pada gadisku seorang.

Sejak pergumulan panjang kami di rumah kak Hajrah, Husna secara rutin mengirimiku pesan gambar via MMS. Isi pesannya selalu membuatku dumba’-dumba’ gleter.

Dumba’-dumba’ gleter kurang lebih berarti mengalami debar jantung yang tidak keruan, tanpa penjelasan.

Betapa tidak, keesokan hari setelah hari itu, dikirimkannya gambar payudaranya, dengan caption “Lebam-lebam nih, bekas cupang kakak...”

Pada malam harinya, giliran gambar pahanya sebelah dalam. “Lecet nih.. Kak Nanta lale sih..”

Demikian terus menerus selama beberapa hari, seperti melaporkan perkembangan. Bahkan sekali waktu dikirimkannya gambar vaginanya, hanya ditutupi dua jari. “Kalo ini minta lagi, Kak Nanta harus siaga, ya..”

Pesan-pesan dan gambar-gambar itu membuatku nyaris gila. Gadisku sedang dalam masa bahagia dimabuk cinta. Dia tiba pada usia eksplorasi diri, bertepatan dengan narsisme remaja, serta percobaan exhibisi. Tak bisa kubayangkan apabila masa itu gadget dan transmisi sudah secanggih saat ini. Husna patut bersyukur, belum ada media sosial pada saat itu, sehingga kebodohan remajanya hanya menjadi miliknya sendiri, hihi..

Tetapi padatnya kegiatan kuliah dan sekolah membuat kami berdua sulit mencari waktu berduaan. Kami tidak pernah lagi mendapat kesempatan setelah malam di rumah kak Hajrah. Kesibukan kami datang bergantian, kadang berbarengan. Demikian berlangsung selama hampir dua bulan. Saat itu sudah mendekati masa ujian sekolah Husna untuk naik kelas tiga. Sementara aku memasuki masa praktik peer teaching.

Demikian seterusnya hingga Husna naik ke kelas tiga. Kemudian pelajaran baru kami datang…

***

Aku sedang berdiri di kelas micro teaching saat seorang teman masuk menghampiri dan berbisik,

“Nan, ada yang nyari tuh.. nangis-nangis, haha..” katanya meledek. Kuintip sebentar keluar, terkejut ketika melihat Husna berdiri dengan raut bingung di tepi trotoar.

Aku pamit permisi kepada dosen pengawas, dengan sopan kujelaskan sebuah alasan yang kukarang sekenanya, agar giliran mengajarku diundur. Sesuatu tentang adik sepupu dan kabar duka. Aku setengah berlari keluar, menghampiri Husna. Demi melihatku berderap ke arahnya, embun di sudut matanya mengembang tumpah..

Husna terisak menutup wajah. Kutarik tangannya menuju sebuah taman melingkar di samping tempat parkir. Pada sore hari seperti ini, area parkir sudah sepi. Pemilik kendaraan lebih senang memarkir kendaraan di depan gedung dekanat agar lebih mudah diawasi. Pencurian part kendaraan sering terjadi di sini.

“Adek, kenapa? Kok bisa sampai ke sini?” tanyaku perlahan, duduk di sampingnya.

“Takut, kak..” ucapnya terbata di sela tangis. Tidak perlu kugambarkan suara isak tangisnya, tidak ada estetika di sana.

Aku terdiam, tidak bertanya lagi. Separuh benakku menduga-duga. Separuh lagi terdiam hanya karena enggan mengejar. Pergaulan mengajarkanku bahwa percuma mencecar jawaban dari seorang wanita yang menangis. Lebih baik menunggu tangisnya mereda, lalu biarkan dia mulai bercerita.

Husna butuh waktu lama sampai tenang dan guncangan bahunya mereda.

“Kak, adek sudah sejak pagi muntah-muntah..” dia memulai cerita.

“Harusnya tanggal ini adek sudah haid, tapi belum ada juga. Adek takut, kak..” lanjutnya, tangisnya pecah kembali.

Dugaan benak kecilku benar. Ini yang kubayangkan semula, saat pertama melihat Husna berdiri dengan raut bingungnya. Pikiranku yang terbiasa mengatur masalah langsung bekerja. Beberapa nama yang dapat kuhubungi dan kuminta bantuannya mulai bermunculan di kepalaku. Solusinya begitu jelas. Lalu pelan, kurangkul bahunya,

“Tidak ada gunanya menduga-duga, kita pastikan saja ya, dek..”

“Kakak antar pulang sekarang, di perjalanan kakak singgah beli alat test, nant..” lanjutku.

“Gimana kalo iya, kak?” Husna memotong perkataanku.

“Kita urus nanti.” aku memungkas tegas.

Kuajak dia pulang. Seperti kataku tadi, aku singgah di sebuah apotik yang terletak di belakang sebuah rumah sakit. Rumah sakit ini terbilang tertua di kotaku. Apotik yang kutuju adalah rekomendasi teman-teman kampusku. Tidak tepat dikatakan rekomendasi, sebenarnya. Hanya mendengar cerita mereka, mengenai beberapa apotik yang tidak terlalu ketat dalam menjual beberapa “produk”. Test pack generik, cytotec, gastrul, genekosiddan varian lain misoprostol dapat dibeli di sini. Demikian pula dengan alat kontrasepsi. Menemukan barang-barang demikian saat itu terbilang sulit, lho, suhu sekalian..

Kuturunkan Husna beberapa meter dari gerbang kompleks, di tempat biasa. Kuselipkan test pack di genggamannya. Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa, kami sama-sama tidak paham cara pakainya. Setidaknya Husna bisa membaca petunjuk pada kemasannya.

Kutinggalkan Husna di sana, kupacu motorku pulang, memikirkan percabangan rencana.

***

Husna meneleponku pagi-pagi sekali.

“Kak.. Adek kayaknya cuma masuk angin, kemarin..” katanya serak.

“Kenapa? Hasilnya cuma 1 strip yah? Dicoba lagi besok, biar yakin..” jawabku.

“Adek ga sempat test, semalam sudah mulai haid..”

Perlahan darah merayapi wajahku, meronakan romanku yang pucat semalaman. Duh, leganya..

Kami melanjutkan obrolan dengan ringan. Hari itu Husna tidak masuk sekolah, alasannya karena nyeri datang bulan. Padahal mungkin sebenarnya dia hanya malu dilihat orang dengan mata sembab hasil menangis seharian.

Kami sama-sama berjanji lebih berhati-hati saat bercinta, bukannya berjanji tidak lagi melakukannya. Haha, dasar remaja..

Kata-kata terakhir Husna saat hendak mengakhiri obrolan-lah yang menjejali pikiranku semalaman setelahnya. Katanya,

“Tapi jadinya kak Nanta mesti kerja keras, dong ya..”

“Ng? Maksudnya?”

“Kak Nanta ga boleh lagi “sampai” duluan. Soalnya kak Nanta kalo “duluan” pasti buangnya di dalam, kan, hihi..”

Benar juga yah..

***

Husna jadi lebih sering main ke kampusku. Terlebih saat itu, tahun ketiga dia di SMA, Husna mengikuti bimbingan belajar intensif di sebuah lembaga bimbel yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampusku. Menjelang akhir semester, lembaga ini bahkan sering menggelar event “nightmare.” Sebuah kegiatan malam minggu, di mana peserta bimbingan mengikuti pembelajaran sampai larut malam, kemudian menginap hingga dini hari.

Kami jadi sering mencuri waktu berduaan di kampus. Dia membolos nightmare, tentunya. Aku sudah sangat mengenal spot dan waktu yang ideal untuk berpacaran di lingkungan fakultasku. Apabila hendak bercengkerama mendengarkan musik, kami dapat duduk-duduk di pelataran depan perpustakaan, tempat divisi musik UKM Seni menggelar latihan. Atau di deretan kantin, jika hendak menikmati kudapan murah meriah. Kami juga bisa duduk-duduk di baruga fakultas sebelah, jika ingin melihat rekan sastra berdeklamasi, atau peragaan teman-teman seni tari. Tetapi tempat favorit kami adalah tempat yang tidak biasa.

Aku aktif sebagai pengurus di sebuah lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas. Tugasku sebagai unit umum memberiku akses kepada pengelolaan inventaris, termasuk ruang sekretariat. Sekretariat LK ini ditempatkan di lantai tiga sebuah gedung berbentuk L, tepat di sudutnya.

Akibat seringnya terjadi bentrokan mahasiswa di fakultas sebelah, dekanat memutuskan menambah keamanan pada gedung ini, dengan memasang pagar besi di ujung setiap tangga. Terdapat dua pagar besi di setiap perbatasan lantai, dari lantai satu sampai lantai tiga.

Pada malam hari, pihak keamanan kampus akan mengunci pagar terbawah. Mahasiswa yang sudah melaporkan diri tinggal berjaga di sekretariat akan diijinkan untuk bermalam, tetapi tidak dapat keluar lagi setelah pagar paling bawah dikunci.

Husna sering sekali kuselundupkan pada sore hari ke sekretariatku, tepat sebelum para satpam mengunci pagar terbawah. Jika beruntung, Husna dan aku akan menghabiskan semalaman bergelut di dinginnya lantai sekretariat yang hanya berlapis karpet. Bercinta baginya, bagiku melatih stamina. Kami lalu bersenggama semalaman, dengan semua gaya yang kami bisa pikirkan.

Jika tidak beruntung, terkadang kami tidak hanya berdua. Ada teman lain yang ikut menginap bersama. Kalau sudah begitu, kami gunakan tempat kedua...

***

“Oouuuhhhhh.. Kak.. Aaahhhhh.. terussssssss..hhhh.. Aaahhhh..” Husna tidak sanggup lagi menahan rintihannya.

Tubuh telanjangnya yang indah sebagian terlindungi sinar lampu oleh lengkungan tepi tangga di atas kami. Pakaiannya teronggok berantakan di bawah kami. Kerudung, dalaman hingga kaos kaki.

Teman-temanku di atas, di sekretariat mungkin mendengarnya. Tetapi persetan, toh mereka tahu aku dan Husna melakukan ini hampir setiap waktu. Setiap kali Husna datang ke kampus sore hari untuk menemuiku.

Hari ini kami tidak beruntung. Sekretariat sedang ramai. Tetapi birahi harus dipenuhi. Itu hasrat tertinggi yang sifatnya manusiawi, pemenuhannya bersifat surgawi.

Husna berdiri bersandar di dinding, kakinya terangkat sebelah, berpijak di rail besi penahan tangga. Aku berdiri di hadapannya, memompa vaginanya yang lebar terkuak. Tanganku menggenggam buah pantatnya, menarik berirama, sesuai hantaman batangku yang tegak berkilat, basah oleh cairan vagina Husna.

“Oooouuhhh.. Aaaaaahhh..” terdengar lirih berulang, setiap kali kutekan tusukanku dalam-dalam.

Kami bercinta dengan berdiri di selasar tangga. Sebuah area persegi di tikungan tangga lantai dua menuju lantai tiga. Aku memegang kunci semua pagar besi yang ada di gedung ini, kecuali pagar terbawah dan kunci ruang kuliah. Kunci pagar di lantai dasar dan kunci ruangan hanya boleh dipegang security.

Pada titik ini, kami tidak terlihat dari lantai bawah, tidak juga dari atas. Pagar besi di ujung atas tangga kukunci, memenjarakan teman-temanku di lantai tiga. Mereka – mungkin – hanya mendengar suara kami, tapi tidak bisa melihatnya. Pilihanku bukan di balkon lantai dua, sebab dapat terlihat dari bangunan lain. Ruang kuliah yang terkunci juga bukan pilihan. Di tempat ini, gaya kami terbatas pada berdiri berhadapan, doggy style atau duduk saling pangku, varian lain dari woman on top.

Dengan ritme teratur, kugenjot terus vagina Husna. Sekali sodokan dalam, beberapa kali tusukan ringan, kupadukan dengan gerak pantat memutar, mengubek-ubek liangnya yang licin dan terasa memilin. Husna menggigit bibirnya dan mendesis setiap kali kulakukan tusukan ringan perlahan.

“Sssssshhhhhh.. Mmmmmhh.. Aaaahhh.. Enak, kak.. lagi.. lagi.. Hhhhmmm..”

Aku belajar dari permainan-permainan kami belakangan ini, bahwa untuk memberikan orgasme pada pasangan wanita, terlebih dulu kesampingkan keinginan untuk cepat menuntaskan permainan. Kendalikan ritme gerakan. Memang nikmat yang dirasakan wanita jika kita menghantam memeknya dengan keras dan dalam, tetapi tusukan pelan beberapa kali dengan diselingi satu atau dua kali hujaman penuh akan mengulur waktu menjadi lebih lama. Untuk mengantarkan wanita orgasme lebih dulu, teman terbaik kita adalah waktu.

Aku selalu berusaha membuat Husna orgasme beberapa kali lebih dulu sebelum menuntaskan ejakulasiku. Hal ini membuatku selalu bisa “menarik diri” tepat waktu. Menghindarkan kami dari kemungkinan terjadinya fertilisasi internal. Seperti kali ini, sudah kubuat Husna orgasme empat kali.

“Aaaaaaahhh.. Oooouuhhh.. Kak.. Adek hampir... Aaaaahhh..” Husna mencengkeram sebelah tanganku yang masih menangkup mangkuk pantatnya. Kutundukkan wajahku, menghisap dalam puting susunya bergantian, sebelah menyebelah. Kunaikkan tempo gerakan. Kuhisap kuncup bukitnya dalam-dalam, kugigit-gigit ringan.

“Mmmmmhhh.. Aaaaaaahhh.. Ouuuuhhhh.. Kakk.. terus, kak.. begitu.. Ooouuhhh..”

Kurasakan vagina Husna berdenyut, tubuhnya berguncang hebat, kakinya mengejang. Gigitanku di puting susunya memang selalu membantu menambah nikmat sensasi yang Husna rasakan. Kepalanya terangkat ke belakang, tubuhnya melengkung indah, lalu kaku kemudian..

“Aaaaaaaaaahhhhhhh.. Aaaaaaaaahhhhh.. Mmmmmmmmhhhhh.. Aaaaaaahh..” desah panjang Husna menandakan dia tiba pada ujung pendakian, puncak tertinggi kenikmatan.

Setiap kali Husna mencapai orgasme pertama, orgasmenya yang kedua dan seterusnya jadi lebih cepat. Ini mungkin karena orgasme pertama membuat sel syaraf sensori di area klitoral dan vaginalnya menjadi lebih peka. Husna mungkin merasa aku yang perkasa, tetapi sebenarnya dia yang mudah orgasmenya, haha..

Tubuhnya perlahan melemas, nafasnya memberat, kakinya melemas seperti tidak bertulang. Kubalikkan badannya membelakangiku, menghadap void tangga. Husna bertopang pada rail tangga dengan dada. Tangannya terentang ke samping, menggenggam besi penahan itu di samping badannya.

Tubuh Husna membungkuk menyesuaikan diri, dia tahu maksudku. Perlahan kuarahkan batang penisku ke gundukan daging terbelah yang indah nan basah, yang menyembul di bawah pantatnya. Sensasi nikmat saat vagina sempit terbelah, selalu membuatku tak sadar memejamkan mata.

Penisku kembali ke dalam jalur pacunya. Kini saatnya bermain keras. Kekasihku sudah mendapat beberapa kali orgasmenya, kini giliranku. Kugoyangkan pantatku maju dengan penuh, menusuk dalam hingga terasa membentur dinding rahimnya yang terjauh..

“Ooouuhhh.. Kak... aaaaaaahh..”

Kutarik cepat lalu kusodokkan kembali. Kulakukan terus dengan ritme cepat, Husna benar-benar menikmati. Tanganku terjulur ke depan, meremas susunya dengan keras. Ibu jari dan telunjukku bergerak memilin puting susunya, memutar-mutar, mencubit dan menarik sesuka hati. Husna selalu suka putingnya dimainkan saat bersetubuh.

Gerakan kami semakin liar. Husna pun menggerakkan pantatnya maju mundur, menyambut goyangan pinggulku, sodokan demi sodokan.


Suara tepukan pantatnya dengan bagian depan tubuhku terdengar nyaring, ditingkahi desisan, erangan dan jeritan Husna yang berusaha diredamnya. Kami bergerak selaras, seperti berdansa dengan gerak kontemporer senggama, diiringi musik ritmis monoton serta lirik berupa rintihan dari bibir Husna.

Lalu setelah ratusan kali sodokan kuat dan dalam, kurasakan sensasi tak asing, saat cairan panas nan kental hendak keluar dari ujung penisku.

“Aaaaaahhh.. dek, kakak samp.. aaaaahhh..” kutarik penisku pada saat yang tepat, sesaat kemudian, pejuku menyembur menyirami belahan pantat Husna, melintasi punggung hingga ke tengkuknya.

Kami terengah mengatur nafas, belum sanggup mengubah posisi. Kelelahan seketika mendera tubuhku. Pendakian kenikmatan memang dapat menyembunyikan rasa lelah persetubuhan, tetapi orgasme membuat rasa lelahnya terasa berkali lipat lebih berat kemudian.

Aku dan Husna membersihkan diri dengan tissue yang sebelumnya selalu kusiapkan. Berpakaian, lalu membuka kunci pagar, menyelinap kembali ke sekretariat. Kami mengendap-endap di sela tubuh teman-temanku yang – kelihatannya – lelap tertidur di lantai ruangan. Husna selalu diterima di sini, dan dibolehkan tidur di ruang perpustakaan sekretariat.

Husna mengunci pintu di dalam, aku merebahkan diri di samping teman-temanku di luar. Aku hampir tertidur saat ada – entah siapa – yang berbisik perlahan, “Nyamanna tawwah..” diikuti dengus dan cekikikan tawa kecil teredam teman-temanku. Mereka ternyata mendengarkan..

***

Nyamanna tawwah kurang lebih berarti; asyik nih ye..
Semacam ledekan yang juga mengandung rasa kagum dan iri, hihi..

Husna dan Lily #4


Kompleks tempat tinggalku adalah perumahan dengan banyak akses, tanpa pintu gerbang. Keamanan warga ditunjang oleh siskamling mandiri, dengan jadwal ronda tiap malam. Hanya pria berkeluarga yang mendapat giliran ronda berdasarkan jadwal, adapun para pemuda lajang, diharapkan ikut menjaga keamanan setiap malam.

Aku termasuk yang meronda hampir setiap malam. Selepas isya, biasanya kukerjakan sebentar tugas kampusku, lalu rebahan di masjid. Pukul sepuluh malam, aku terbiasa terbangun dan lalu terjaga sampai subuh, sesekali ikut patroli keliling kompleks. Jam dalam tubuhku seolah sudah menyetel alarm, selalu membangunkanku jam segitu.

Kebiasaan itu juga yang berjasa membuatku bisa mereguk kefanaan surgawi tubuh Husna, gadis belia yang tidur lelap di sampingku..

***

Aku terbangun belasan menit melewati pukul sepuluh. Sejuknya pendingin ruangan membuat kerongkonganku kering. Kusingkap selimut perlahan, menampakkan tubuhku dan Husna yang polos. Aku melangkah menuju kamar mandi di pojok ranjang.

Saat menuntaskan hajat kecil, kuamati batang kejantananku. Bercak-bercak putih dengan semu merah muda mengering menyelubunginya. Ini darah perawan husna, bercampur cairan persetubuhan kami. Semalam aku ejakulasi di dalam tubuhnya, semoga tidak apa-apa, haha..

Ingatan tentang kejadian di awal malam, membuat gairahku naik perlahan. Akh, masih banyak waktu menuntaskannya. Kubersihkan tubuh bawahku lalu meraih handuk mandi Husna, kulingkarkan di pinggangku dan berjalan ke dapur. Rumah yang besar ini membingungkanku.

Aku masih duduk menggenggam gelasku saat Husna mengintip di pintu dapur.

“Hoo.. dicariin, ternyata di sini..” ujarnya dengan mata menyipit. Rambutnya agak acak-acakan, sisa pergumulan. Husna menghampiriku, mengambil gelas dari tanganku dan menandaskan isinya.

Saat itu Husna lagi-lagi mengenakan kaos longgarku. Hanya kaos longgarku. Dia minum sambil berdiri menyamping di depanku. Saat menghabiskan air minumnya, dagunya terangkat, menampilkan lehernya yang putih, bergerak seiring bunyi tegukan airnya. Gerakan tangannya yang mengangkat gelas membuat ujung bawah kaosnya terangkat, menampakkan buah pantatnya yang putih, bulat telanjang.

Seketika tuas kecil dalam mesin libidoku terangkat. Aku terangsang!

Kupeluk Husna, kuangkat tubuhnya ke pangkuanku, kuhadapkan badannya mengangkangiku.

“Eit, gelas, kak..” katanya mengingatkan. Gelas diletakkan perlahan di wastafel di belakangku.

“Mau lagi, dek.. mmmmhhh..” kata-kataku tidak selesai, Husna langsung melahap bibirku dengan rakus. Mungkin kentang sore tadi membuatnya ikut penasaran dan menyimpan nafsu yang latent. Pahanya menjepit pinggangku, bergerak seolah mengelus kulitku.

Husna begitu agresif menyerangku. Cumbuannya turun ke leher, berputar ke telinga dan bahuku. Tangannya memeluk ketiakku, menikung ke belakang, telapaknya mengelus dan meremas punggungku.

“Yang semalam.. Ahhhh..”

“Hhmmm..?” Husna bertanya tanpa menghentikan ciumannya, kali ini di puting dadaku.

“Sakitkah yang semalam, dek?” tanyaku pada akhirnya.

Husna menghentikan sejenak ciumannya di sekujur tubuh atasku. Matanya menjajari wajahku, tangannya di kedua pipiku.

“Sakit, kak.. pake banget.. ga ada enaknya sama sekali..” katanya tersenyum.

“Adek cuma tahu dari orang, dari bacaan, kalo sakit itu hanya awalnya saja, setelahnya bakal enak. Makanya adek mau saja nerusin. Apalagi kelihatannya kak Nanta asyik sekali, jadi adek rela saja.. hihi..”

Aku kehabisan kata-kata.

“Tapi habis ini, kak Nanta tolong bikin adek terbiasa, biar bisa rasakan enaknya sama-sama..” kata Husna setengah berbisik, mengecup lembut bibirku memungkas kalimatnya.

Perasaan dalam benakku jadi campur aduk. Terharu, nafsu, takjub, takut. Tetapi logika dan nurani selalu kalah oleh birahi.

Kurengkuh tubuh Husna dalam pelukanku. Badannya terangkat saat kedua tanganku meremas pantatnya dengan kasar. Kursi dapur berderik saat Husna menyilangkan lengan, mengangkat siku dan melepas kaosnya dengan satu tarikan. Sekali lagi, tubuh polos belia Husna terpajang di hadapanku.

Husna menerkam bibirku penuh nafsu. Sebelah tanganku menangkup payudaranya, meremas lembut, sedangkan tanganku lainnya tetap meremas pantatnya bergantian.

Kami berciuman lama, ketika gerak kami yang liar mulai membuat kursi yang kududuki seperti hilang keseimbangan. Aku lalu berdiri, dengan Husna tetap menjepitku dan memagutku, seperti burung pelatuk di dahan kayu.

Aku melangkah ke koridor, tanpa melihat jalan. Posisi tubuh Husna yang “kugendong” membuat pandanganku terhalang. Di koridor, kuletakkan dia di sebuah meja pajangan yang tingginya sepinggang. Di sini, aku dapat berdiri tegak, wajah Husna sejajar denganku dalam posisi duduknya. Kami terus berciuman.

Handuk yang tadi kukenakan entah jatuh di mana. Kami berdua sudah telanjang, berhadapan, berciuman di suatu tempat yang bahkan bukan ruangan.

“Kak, kak Nanta sudah keras lagi.. Mmmmmhh..” ujar Husna di sela ciuman kami. Tangan kirinya terulur ke depan, menggenggam senjataku yang teracung seperti menunjuk perutnya.

“Adek sudah mau?” tanyaku, sambil bergerak menunduk mencucup puting susunya..

“Oouuhh.. Iya kak.. adek mau lagi.. Aaaahhhnnn.. Ouhhhh..” badan Husna agak ke belakang, menyandar ke dinding koridor.
Perlahan kususuri buah dadanya dengan ciuman, kuluman, hisapan. Turun ke perutnya, mengitari pinggangnya. Husna meremas rambutku, memejamkan mata, menengadah menikmati sensasi geli nikmat yang menjalari sekujur tubuhnya.

Aku berlutut saat wajahku mencapai paha Husna. Kuciumi kedua belah pahanya bergantian. Tanganku turun ke lututnya, memijat dan meremas lembut. Kulebarkan posisi kedua lutut itu, membuat paha Husna terentang membuka, menampakkan vaginanya yang merekah, basah.

Perlahan, kudekatkan wajah menuju bukaan celah pahanya. Aroma khas vagina menyambut wajahku, kuciumi selangkangannya, bergerak perlahan, menuju bibir vaginanya.

“Aaaaaaahhh.. kak.. adek basah di situ.. aaahh.. jorok, kak.. Ooouuhhhh..”

Kali ini tidak kubenamkan wajahku dalam vaginanya, hanya lidah yang kugerakkan menjelajah anatomi organ kewanitaannya. Lidahku menyapu klitoris dan keempat labia-nya.

Saat kurasakan tubuh Husna menegang, kutegakkan badanku. Kutarik tangannya agar menggenggam batangku. Kuremas pantatnya, posisi kami menjadi rapat. Pahanya mengangkang, membuka jalan. Husna paham maksudku, tangannya menuntun penisku menuju bukaan liangnya yang sudah basah, siap dirambah.

“Aaaaaahh.. Kak..” perlahan kepala penisku terbenam.

Rasanya sempit, tetapi tidak sesulit pertama kali. Bibir Husna mencari bibirku, mengulum rapat, melumat dengan kuat, seakan hendak menutupi rasa perih yang kembali mendera di sela kakinya. Kedua tangannya memelukku, meremas pantatku yang tengah tegang.

Kugerakkan sedikit pinggulku, agar batangku bisa menerobos lebih jauh.

“Mmmmmhhh.. Hhhhgg.. Mmmmmmhh..” desahan Husna teredam ciuman.

Posisi ini menghalangiku untuk “masuk” lebih dalam. Untuk mencapai kedalaman maksimal penetrasi, area yang ditumbuhi rambut kemaluan kedua insan harus dapat bertemu dengan rapat. Dengan begitu batang penis dapat mencapai kedalaman maksimal. Posisi berdiri-duduk (lelaki berdiri, gadis duduk) cukup menghalangi hal itu, terutama karena vagina ini baru kehilangan virginity-nya dua jam yang lalu, haha..

Karena rasanya tidak maksimal, kupeluk dan kuangkat tubuh Husna, tanpa melepaskan tusukanku yang sudah masuk dua per tiga.

“Aaaakkkhh.. Kakk.. Ouhhh..”

Ternyata menggendongnya dalam posisi ini membuat batangku melesak lebih dalam. Husna meringis, menghentikan ciuman di bibirku, dan memeluk erat, sambil menggigiti bahuku.

Aku melangkah perlahan menyusuri koridor, menuju entah ke mana. Untuk mencapai kamar semula, aku harus naik tangga.

Naluri mengarahkanku menuju ruang lain, ruang tengah, tempat semula kami bercumbu ashar tadi. Cahaya temaram lampu ruangan lain menerobos lewat pintu yang tak berdaun.

“Mmmmhhh.. Ahhhh..” Husna merintih seiring langkah kakiku. Ternyata setiap langkahku mengakibatkan pergesekan di dalam liangnya.

Perlahan aku duduk selonjor di karpet tebal berbulu, berbentuk bulat di tengah ruangan. Husna tetap mengangkangi pahaku, vaginanya tetap menjepit kemaluanku.

“Aaahhh..” desah Husna saat bobot tubuhnya membuat penisku masuk lebih dalam lagi.

Husna duduk membelakangi jendela besar di ruang tengah. Kisi-kisi di atas jendela meloloskan larik-larik sinar yang jatuh menyinari sebagian tubuh Husna, yang bersimpuh mengangkangi tubuhku.

Lama kami terdiam, tidak bergerak. Menikmati keberadaan masing-masing. Kurasakan garis bibir vaginanya berdenyut menjepit batangku.

“Adek mau di bawah?” tanyaku sambil menyentuh pipinya. Husna memalingkan wajah, mengecup pelan telapak tanganku.

“Ga, kak.. Ahhh.. mau di atas saja..” katanya pelan.

“Kalo adek di bawah, kakak goyangnya keras, sakit tauk, kak..” lanjut Husna.

Aku paham maksudnya. Husna mau tetap di atas. Dia hendak mengendalikan permainan kali ini, agar rasa yang didapatkannya sesuai kehendaknya. Dia ingin mereguk kenikmatan yang tidak didapatkannya pada ronde kami di awal malam tadi.

Kurabahkan badanku terlentang ke belakang. Husna lalu menumpukan kedua tangannya ke dadaku. Posisi kedua tangannya yang menyatu di tengah membuat dadanya terjepit, membentuk belahan yang rapat, membusung mempesona.

Perlahan diangkatnya pinggulnya, penisku berdesir saat cairan kental di pertemuan selangkangan kami terpecah, terpisah.

“Aaaaaahhh..” desah Husna, saat pantatnya terangkat perlahan.

“Ooooouuuhhhhh..” desahnya lagi saat pinggulnya pelan-pelan diturunkan.

Kucoba membaca wajahnya. Sulit menentukan, apakah itu ekspresi kesakitan, atau rona penuh kenikmatan. Sebelah tangannya meraih tanganku, membawanya, menuntun telapakku meremas dadanya. Tangannya tetap menangkup tanganku, tanpa kata memintaku meremas susunya, dengan ritme yang diinginkannya.

“Aaaaaaaahhh.. Aaaaahhhh.. Ooooouuhhhh.. Kak.. Aaahh..” suara Husna mengisi setiap celah di ruangan. Setiap gerak tubuhnya yang pelan diikuti dengan erangan dan desahan. Sesekali Husna mendesis dan memejamkan mata rapat-rapat.

Goyang pinggulnya semakin lama semakin stabil dan konstan. Desahannya semakin lama semakin keras, berubah dari desah perih menjadi jerit nikmat.

“Aaahh.. dek.. Aahhhh.. enak, kah?” tanyaku saat mata kami beradu.

Tersenyum, Husna mengangguk malu.

“Iyah, kak.. Ahhhhh.. kak Nanta jangan bergerak, aaahhh..” Husna menahan tubuhku saat tanpa sadar kugerakkan pinggulku menyodoknya dari bawah.

“Aaaaahhh.. Ooouuhh.. Uuhhh.. kak..”

Gerak pinggulnya semakin liar. Kepalanya tersentak ke kiri, lalu ke kanan. Kenikmatan menderanya bagai tamparan. Pantatnya yang naik turun terasa lembut menepuk-nepuk pahaku. Lalu tiba-tiba badannya kaku.

Sebuah mobil berbelok di jalan depan rumah Husna. Sinar lampunya menyorot jendela dari luar, menembus ke dalam, menyinari tubuh Husna dari belakang. Tepat saat siluet tubuhnya terbentuk, berpendar bagai malaikat, kepalanya tersentak ke atas. Pahanya menjepit keras pinggangku, tubuhnya melengkung indah ke belakang.

Keindahan orgasme menyerangnya tanpa ampun.

“Aaahhhh.. kak.. mmmhhh..” desahnya saat rebah ke depan, menindihku, mencari bibirku.

“Enak, dek?” kataku meledek.

“Iihhh, kak Nanta lale.. nanya-nanya mulu..”

Tak sabar, kugulingkan tubuhku, berbalik menindihnya. Pertemuan kelamin kami sesaat terlepas, tetapi langsung kusarangkan kembali saat berada di atasnya.

“Aakkhhh.. kak.. pelan..”

Tidak kuhiraukan lagi lenguhan Husna saat itu. Kuangkat wajahku, duduk tegak dalam posisi setengah berlutut. Kuraih betisnya, kulebarkan sejauhnya. Lalu, dengan kedua tangan masih memegang kakinya ke samping, kugerakkan pantatku maju mundur, mengulek lubang vaginanya..

plochhh.. slepp.. terdengar berulang-ulang, ditingkahi jerit kecil Husna yang kini menggelinjang bagai kesetanan.

“Ooouuhhh.. kak.. aaaahhh.. kak Nantaaaa.. aahhhh..”

“Sakit, dek?” tanyaku terengah.

Husna menggeleng kencang, terus mengerang, menggeliat keenakan. Sepasang payudaranya berguncang-guncang, seiring gerakanku memompa liang senggamanya.

Kurasakan penisku berkedut, panas mendera kepala senjataku itu. Sebentar lagi laharku erupsi. Kucepatkan gerakanku, tetapi tertahan, saat Husna mengunci tubuhnya, membuatku tak bisa bergerak memompa.

“Aaaaaaahhh.. Adek sudah pi.. Aaaaaaaahhhh..” entah apa yang hendak dikatakan Husna, saat desahnya sendiri menghentikan kalimatnya.

Perlahan Husna melemas, memberiku kesempatan untuk kembali memompa.

“Aaaahhh.. Ooouhhhh.. kak Nanta.. adek sudah.. Ooouuhh..” jeritnya, saat kenikmatan kembali merayap pelan, menggerogoti tubuhnya.

“Dikit lagi, dek.. Aaaaaaahhhh..” tak bisa kutahan desahanku, saat semburan lava panas menyeruak keluar daru ujung penisku.

Tubuhku rebah ke depan, menindih Husna yang langsung memelukku rapat. Bibirnya menyambut bibirku, bergumul, melumat penuh rindu.

“Mmmmhhh.. kakak ih.. nyembur di dalam terus, adek bisa hamil nanti..” katanya di sela ciuman.

“Mmmhh.. ya mau gimana, mau keluar adek malah kunci pake kaki..”

“Habisnya enak sih, hihi..”

Kami terus berciuman dalam posisi bertindihan. Kakinya tertekuk di lutut, sebelah kaki lainnya melingkar di tubuhku. Tidak lama kemudian, pinggul kami bergerak sendiri. Ketika penis di dalam vagina, gerak memompa memang tak terhindarkan, kan, suhu sekalian?

Kami bersenggama dengan santai, mendesah berbarengan, saling tindih bergantian. Sisa malam kami habiskan dengan bersetubuh dalam gaya missionari, dan saling memberi orgasme sampai dini hari.

***

Waktu menunjukkan pukul empat dini hari, saat aku dan Husna mencapai limit atas kekuatan muda kami. Permainan terakhir kami lakukan di kamar atas, tempat kami memulai sore sebelumnya.

Kelelahan, aku rebah di lantai, dekat pintu menuju balkon kamarnya. Husna memangku kepalaku, membelai-belai rambutku. Dingin membuat Husna menarik selimut, melingkupi tubuh kami berdua yang sedang bersitatap diagonal.

“Kak Nanta lale..” katanya tersenyum, terus menatap mataku, membelai rambutku.

“Adek juga ga kalah lale..” kataku sedikit berpaling, mengecup bantalku, pahanya yang telanjang.

***

Aku tertidur saat Husna mandi mendahuluiku. Pagi jam tujuh, aku dibangunkannya.

“Gih, mandi, Kak..”

“Lho, Husna sudah mandi waktu kakak tidur ya?”

“Iya, kenapa?”

“Harusnya barengan..” kataku sambil meraih ke depan, meremas susunya yang hanya dibalut handuk.

“Ish, ada juga ga mandi, jadinya.. ini saja masih perih, tauk, kak..” katanya menepis tanganku menjauh.

Aku lalu mandi dan mengenakan pakaianku kembali. Kususul Husna ke dapur, dia membuat sarapan untuk kami berdua.

Kami sarapan dalam diam, hanya sesekali bertatapan. Aku bingung, setiap kali hendak memulai percakapan, yang terpikir di kepalaku hanya tentang persetubuhan. Setiap kali menatap ke arahnya, yang kulirik pertama kali adalah bibirnya, dada dan pantatnya..

Untuk kali pertama aku tersadar; rasa cinta di antara kami tidak mutual. Aku memandang Husna sebagai peraduan birahi. Sementara cintanya padaku, entah ini cinta monyet, kingkong atau gorilla, adalah tulus, setidaknya pada saat itu. Saat hartanya yang paling berharga tanpa ragu diserahkannya padaku.

Thursday, 29 September 2016

Husna dan Lily #3


Aku selalu membayangkan, pacaran remaja akan dimulai dengan hubungan platonis. Sedikit lebih lama, pacaran lalu mengarah ke hubungan romantis. Saling bertukar cendera mata. SMS-an mesra. Kemudian makan berdua, jalan-jalan ke mall dan semacamnya. Aku dan Husna memulai dengan eksplorasi yang lebih jauh. Lebih dalam dan lebih pribadi.

Kelak kusadari, bahwa kejadian di Bantimurung meletakkan dasar yang berbeda pada hubunganku dengan Husna. SMS-an menjelang tidur tidak biasa kami lakukan setelah itu. Kami jarang keluar berdua ke tempat ramai untuk keperluan pacaran seperti remaja biasanya. Bertukar pesan biasanya kami lakukan hanya untuk mengatur janji temu. Pacaran serasa tidak cukup jika tanpa bercumbu.

Percumbuan kami tidak selalu mudah mendapat tempat dan waktu. Husna sekolah, SMA kelas 1, sedangkan aku mulai sibuk dengan kuliah dan kegiatan kampusku. Aku juga tidak lagi tega mengajaknya bolos sekolah, praktis hanya sekali itu, saat pertama kali kutelusuri gairahnya di Bantimurung sana.

Kami lebih sering bertemu di rumah teman sekolahnya, pada sore hari sepulang sekolah atau kegiatan tambahan. Saat aku datang, biasanya teman-temannya tahu diri, pamit entah ke mana. Tetapi aku dan Husna juga tidak berani berbuat lebih di rumah mereka. Paling banter hanya rutinitas lumat bibir sambil meremas lambang osis-nya, haha.. Terkadang iseng tanganku menyusup ke balik rok abu-abu panjangnya, tetapi tetap tak bisa lama-lama.

Demikian berulang terus, sampai Husna naik kelas 2. Satu tahun, suhu sekalian, haha..

Sampai suatu hari, sebuah pesan singkat membunyikan ponselku...

“Kak, Kak Hajrah lagi ga di rumah, Mas Iman juga..” bunyi pesan dari Husna.

“Oh, mereka pada ke mana? Trus kenapa memangnya kalau mereka tidak ada? Adek lagi butuh bantuan mereka, gitu?” balasku, naif.

“Mereka lagi ke Semarang, ka kampungnya Mas Iman. Bukan adek. Kak Nanta yang pasti butuh..”

Sontak kesadaran menyerbu ke otakku. Ini undangan, suhu sekalian! Haha..

***

Pernah kuceritakan, bahwa Husna adalah anak bungsu. Bapaknya, Haji Andi Ahmad, adalah duda beranak dua saat menikah dengan Hajja Bunga, ibu dari Husna. Hajja Bunga sendiri adalah janda beranak empat pada saat itu. Hajrah adalah anak sulung bawaan Hajjah Bunga. Husna adalah satu-satunya anak dari Haji Andi Ahmad dan Hajjah Bunga.

Hajrah – si kakak sulung – tinggal bersama suaminya, Kasiman, di sebuah kompleks perumahan mewah, di kecamatan sebelah. Husna sering main ke rumah Hajrah, menemani ponakannya – putra Hajrah – bermain. Hal ini membuat Husna sering diminta menjaga rumah itu jika Hajrah dan suaminya bepergian.

Kompleks ini dihuni oleh keluarga-keluarga berada, dengan tingkat sosialisasi rendah. Semua rumah dikelilingi pagar yang tinggi, dengan pintu yang selalu tertutup.

Dan aku diundang – dengan halus dan sindiran – oleh seorang gadis belia, menemaninya di suatu kamar, di dalam rumah, di sini...

***

Kulewatkan lagi detail tidak penting perjalananku menuju rumah di mana Husna menungguku, ya, suhu sekalian. Beda lagi seandainya referensi kuliner makassar yang suhu sekalian inginkan, maka akan saya ceritakan tentang coto makassar Paraikatte yang kusinggahi sebentar dalam perjalanan. Haha..

Setiba di rumahnya, kuparkir motorku di naungan kanopi, kuketuk pintunya. Sebuah pesan singkat menderingkan ponselku,

“Lewat pintu samping, Kak..”

Kukitari taman kecil dengan deretan bonsai, kutemukan pintu samping yang dimaksud, tidak terkunci. Aku melangkah masuk, melewati koridor dengan lampu redup. Koridor ini mengarah ke ruang keluarga, ternyata. Husna duduk manis di sofa, tersenyum dikulum, tidak menoleh – walaupun tahu – saat aku melangkah menghampirinya.

Kuhempaskan diri ke sofa di sampingnya. Husna saat itu mengenakan mukenah. Mungkin baru saja selesai ibadah ashar.

“Empunya rumah bakal lama di Semarang?” tanyaku.

“Iya, Kak, dua minggu, kayaknya..” jawabnya tanpa menoleh. Kami berdua duduk rapat berdampingan. Kabut percumbuan menggantung rendah di bawah langit-langit, hanya menunggu sampai kami menghirup dan mabuk dibuatnya.

“Jadi, bisa tiap hari nih…” kataku sambil meletakkan tangan kanan di lutut kirinya.

“Kata siapa, besok Mama bakal nginap di sini kok, sampe Kak Hajrah pulang” katanya ringan, menepis jatuh tanganku.

“Yaahh.. kirain bisa berduaan 2 minggu..” kataku memonyongkan bibir.

“Memangnya mau ngapain, Kak?”

“Yaa.. apa yahh.. meneruskan sesuatu yang tertunda melulu, mungkin?”

“Memangnya harus dua minggu? Sesorean ini tidak cukup?” katanya sambil memutar bola mata, menggoda.

Godaannya kusambut, aku menyerah. Kuterkam dia, kutindih di sofa. Bibirku mengulum bibir atasnya, bibir bawahku digigit olehnya. Setahun bercumbu membuatnya semakin hebat membagi tugas oral. Dia tahu kapan waktunya membelit lidahku ke dalam mulutnya, atau memijat lidahku di dalam sini. Dia mengerti kapan mesti menggigit bibirku, atau melepas ciuman untuk sekedar mendesah ringan, menggemaskan..

“Mmmhhh.. Kangen ya Kak? Mmmhh..” desahnya lembut. Kedua lengannya melingkar di leherku, tubuhnya tertindih olehku.

Mukenah yang dikenakannya menyusahkan gerakan kami. Maka kuangkat wajahku, sebelah tangan bertumpu di sisi tubuhnya, sebelah tanganku menarik lepas mukenahnya.

Tidak bisa kusembunyikan ekspresi takjubku saat melihat Husna di balik mukenah. Di baliknya, Husna hanya mengenakan tanktop berwarna hijau muda. Tanpa bra di baliknya. Kulirik ke bawah, kakinya – yang kini melingkar di pinggangku – hanya mengenakan secarik kain segitiga, putih bersih warnanya.

“Wah, adek nakal juga yah, ternyata..” kataku menggodanya.

“Yang begini, kan, yang Kak Nanta suka?” katanya tersenyum, lengannya kembali melingkar di leherku, menarikku ke bibirnya yang merekah terbuka. Kulumat bibirnya dengan rakus, dibalasnya dengan tak kalah bernafsu.

Waktu kami hanya sesorean, jika benar kata Husna tadi. Jadi menurutku tidak perlu bergerak perlahan. Kutarik Husna turun dari sofa yang rendah itu. Kami bergulingan di lantai, kini dia menindihku.

Kedua tanganku menangkap bulatan pantatnya, menyusup ke dalam batas celana dalamnya. Kuremas keras, senada dengan gerak pinggulnya yang naluriah menirukan olah tubuh senggama. Naluri manusia dalam birahi memang sudah punya pola koreografi tersendiri, sejak jaman purbakala hingga kini.

Kutarik turun kain segitiga mungil itu. Husna tidak keberatan, atau mungkin tidak menyadari yang kulakukan. Tanganku kian bebas menggerayangi bulat pantatnya, sedangkan Husna terus menciumi bibirku penuh nafsu. Aroma birahi seolah menguar bagai uap panas dari tubuh kami, memenuhi ruangan tiga dimensi.

Tangan Husna mulai meraba perutku, mencari ujung baju. Kubantu niatnya dengan duduk tegak, dan melepas kaosku. Kini posisi Husna mengangkangiku. Sepertinya tersadar bahwa separuh tubuhnya bagian bawah sudah polos tidak tertutup sesuatu. Kepalang basah, dengan satu gerakan, Husna menarik tanktopnya ke atas, melepas kain terakhir yang menutup payudaranya.

Kami bertatapan sejenak. Seorang gadis dilanda asmara, duduk mengangkang di pangkuan seorang pemuda, yang saat itu hanya birahi yang ada di kepalanya, haha..

Kami kembali beradu bibir, memijat lidah masing-masing dengan buas, dengan ganas. Jarinya memainkan gesper celanaku, membuatku tersadar, bagian bawah tubuhku belum terbebas dari belenggu.

Kurebahkan tubuhnya ke belakang, spontan tangannya memeluk leherku. Dengan tidak menghentikan ciuman, kulepas gesper, kancing dan resluiting celana kainku. Lalu kurenggut lepas ke bawah, sekalian dengan celana model boxerku.

Kami bertindihan, meneruskan gerakan meniru persetubuhan. Bibir masih saling melumat. Sebelah tangan Husna mengusap punggungku, sebelah lainnya meremas rambutku.

Kuturunkan ciuman ke lehernya, meninggalkan jejak merah penanda daerah jelajah. Kudaratkan ciuman bertubi di dagu, leher, lalu turun dengan pasti ke belahan dadanya.

“Ouuhhh.. Kak.. Kak Nanta laleee... Ahhh..” katanya mencoba bercanda, jelas sulit dengan luapan birahi meruah ke ubun-ubunnya.

Kuteruskan cumbuan di dadanya. Kedua tanganku kini merema keras dua bukit susunya. Dan dengan cepat, mengulum putingnya yang mencuat indah.

Selama setahun lebih berpacaran, payudara Husna kerap kuremas. Memang, selama itu terkadang hanya ciuman dan remasan yang dapat kami lakukan, haha..

“Kakk..hhh.. Gelii..hh.. Ahhh.. Kak, terus, ahhh.. tapi lebih lembut..” ceracaunya semakin lirih.

Kugeser tubuhku sedikit turun dari tindihanku. Dengan posisi sedikit menyamping, sebelah tanganku kini meremas bergantian buah dada Husna, bibirku kembali mencari dan membungkam bibirnya. Sebelah tanganku yang lain bergerak turun, meremas lembut pahanya sebelah dalam. Naluriah, Husna melebarkan posisi kakinya, memberi jalur leluasa menuju celah basah selangkangannya..

“Akhh.. Kak Nantaa.. Ahhh.. pelan kak.. hmmmpphh..” jeritan kecilnya tertahan, saat bibirnya kembali kubungkam dengan ciuman. Tanganku tetap mantap, menelisik bibir vaginanya yang merembes basah.

“Mmmhhh.. Ahhhh.. Kak.. Ahhh..” jerit dan desah yang sama, mengisi ruang tamu, menggema menuju suatu tempat yang entah di mana.

Kucepatkan gerak jariku di liang senggamanya, menusuk setengah masuk dengan jari tengah. Lalu dengan ibu jari, kutekan-gesek klitorisnya..

“Aahhhhhhh.. Kak.. ouuhhhhh.. kak..”

Tubuh Husna tersentak, saat kenikmatan orgasmik runtuh menimpanya..

“Hhhhhh.. Kak.. adek lemas.. yang barusan itu bikin adek hilang tenaga..” katanya terengah-engah, berusaha berseloroh.

Tidak menunggu sampai nafasnya normal kembali, kuterkam lagi tubuhnya. Kutindih, kutarik pahanya melingkar dan menjepit pinggangku. Kuposisikan batang kelelakianku pada celah vaginanya yang masih basah. Ya, kami lanjutkan dengan petting.

Pada mulanya, hanya desah dan desis ringan yang Husna bisikkan. Lalu, seiring bertambah cepatnya gesekan batangku di celah kenikmatannya, suaranya berganti jeritan kecil penuh gairah..

Gerakan kami mengalir seirama, pinggulku menekan ke bawah, seolah sedang bersenggama. Tanganku turun ke dadanya, meremas keras bulatan payudaranya yang kenyal nan padat. Sambil terus bergerak memompa, terus menerus kuarahkan batang kelelakianku menggerus celah sempit nan basah di antara kedua kakinya.

Kurasakan cairan senggama dari vaginanya membanjir, melumuri senjata priaku. Suara pergesekan kelamin kami mengisi ruangan, di sela rintihan Husna yang lirih.

Gerakan kami semakin cepat. Aku mendaki kian tinggi. Yang kulakukan ini tidak ubahnya hanyalah masturbasi, dengan menggunakan vagina asli, hihi..

Kurasakan ujung batangku mulai berkedut, aku akan mencapai klimaks. Dalam pergesekan yang semakin cepat, Husna pun merasakan sensasi yang kian lama kian nikmat..

“Ahhhh.. Kak.. Ahhhh.. Terus, kak.. Ahhhhh..” demikian, berulang, meninggi, lalu lepas, dalam semburan kentalku, membanjiri perutnya..

“Aaaaahhh, dek.. Aahhhhhhh..” desahku tidak tertahan saat itu.

Tanganku meraba mencari tanktop hijaunya, kubersihkan ceceran sperm ku yang membanjiri perut Husna hingga ke dada.

“Yang terakhir ada rasanya, buat adek?” tanyaku tentang petting barusan.

“Ada, sih, kak..” katanya sambil mengatur nafas.
“Tapi ga seenak yang tadi, yang pake jari..” katanya malu-malu.

“Hmm.. Lain kali, dek Husna mau yang betulannya?” tanyaku sambil meraih celana.

“Iyalah.. asal kakak jangan kasar..”

Kukenakan kembali pakaianku, Husna juga beranjak memakai celana dalamnya. Tanktopnya yang terkena cairanku dipungutnya, lalu dengan santai berjalan menuju ambang sebuah kamar.

Kutarik tangannya, kupeluk dia dari belakang, lalu bisikku,
“Kapan lagi dong, ada kesempatan?”

“Ya, malam ini saja, kenapa Kak?” dia sedikit meronta melepaskan diri. Berlari memasuki kamar terdekat.

“Sudah ya, mau mandi dulu nih..” serunya dari dalam kamar.

Aku masih termangu, lalu melangkah mendekati pintu kamar.

“Bukannya mamanya Husna mau datang?” tanyaku.

Wajah Husna muncul dari balik pintu kamar, “Iya, memang.. tapi besok sore..”
Husna menghilang lagi ke dalam kamar.

Aku lalu duduk di sofa, mencoba memahami kondisi.

Husna bersedia “belajar lebih jauh” denganku. Malam ini, katanya. Hari masih sore saat ini. Mamanya baru datang keesokan hari, sore, tepatnya. Besok itu hari minggu.
Semua kepingan informasi hanya berarti satu hal : aku punya semalam dan sehari untuk mereguk kenikmatan kekasihku..

Kelak, di masa kini, Husna selalu menyebut malam pengantinnya – dengan suaminya sekarang – sebagai malam kedua, sebab malam pertama baginya adalah malam itu, saat aku semalaman di dalam kamarnya, juga di dalam tubuhnya.

Seperti yang kuterakan dalam judul cerita ini, Husna, adalah salah satu “teman belajar” ku dalam Erotisme 101. Gaya pacaran kami yang kelewatan, – okelah, yang mesum – menjadikan kami sulit untuk menyentuh sisi romantisme cinta remaja. Kami seperti dewasa jauh sebelum masanya. Terutama bagi Husna, yang masih belia SMA.

Jika diibaratkan ajaran, kami adalah penganut aliran Birahiyah. Aliran para pemuda yang senantiasa bertasbih dalam desah, bertahajud dalam rintih gairah asmara.

Ya, itu memang berlebihan, suhu sekalian, haha.. Yang aku ingin sampaikan, adalah pada pikiran kami berdua saat mengingat pasangan – aku mengingatnya, Husna mengingatku – hanya ada keinginan menjelajah tubuh satu sama lain. Status kami memang pacaran, tetapi lebih mirip sexmate, wahana eksplorasi keingintahuan yang tabu. Keintiman dewasa dalam pemahaman yang lugu.

***

Pelajaran kami selanjutnya dimulai beberapa saat lagi. Husna sedang mandi di kamar kakaknya seusai pemanasan sore barusan. Bunyi siraman shower samar terdengar hingga ke ruang tengah, tempatku duduk menunggu hanya dengan mengenakan celana. Keringatku belum hilang sepenuhnya, membuatku enggan mengenakan kaosku. Di samping tidak menemukan setelah tadi dilempar Husna serampangan.

Iseng kuganti saluran teve. Ada berita tentang penipuan Bank di sana, dan seorang mengaku nabi di situ. Pikiranku tidak bisa menangkap jelas apapun yang kulihat dan kudengar saat itu. Yang ada hanya penasaran menunggu makhluk manis yang sedang mandi, dan apa yang akan dilakukannya bersamaku. Ya, pacaran kami tidak sehat. Tapi seperti rokok dan soda, kesadaran tentang tidak sehatnya, tidak mengurangi nikmatnya.. Haha..

“Ish, Kak Nanta melamun..” wajah dibingkai rambut basah mengintip dari sela pintu yang terbuka secelah.

“Habisnya lama sih, mandinya..”

“Lama karena kirain Kakak mau ikutan.. Hihi..” katanya menggoda, menggemaskan cekikikannya.

Melihat gerakanku yang mencoba bangkit mengejarnya ke dalam kamar, Husna langsung membanting pintu. Klik. Pintu dikunci dari dalam.

“Kak Nanta kalo mau mandi, di kamar mandi dekat tangga saja, ya.. hihi..”

Sial, tunas kentangku seperti patah diinjak kambing.

***

Sehabis mandi, kuraih handuk yang tergantung di pegangan pintu sebelah luar, kukeringkan rambut dan badanku sambil melangkah kembali ke ruang tengah. Bercelana model boxer saja, siluetku memenuhi lorong panjang di bawah tangga menuju arah dalam.

Husna tidak kutemukan di ruang tengah. Samar kudengar senandungnya dari arah lebih dalam, di bagian belakang. Bajuku tidak juga kutemukan. Dengan bertelanjang dada dan hanya secarik kain persegi berjahit menutupi senjata, santai kuhampiri sumber cahaya di ruang dapur.

Dan di sanalah Husna, berdiri membelakangiku. Rambutnya masih basah, terurai ke punggungnya, membasahi kaos longgar yang kukenali adalah milikku. Di tubuhnya, kaos itu jatuh melekat ringan. Menutup dan menyembunyikan lekukan antara punggung atas ke pinggang, antara pinggang ke pinggulnya. Dan di ujung bawah, kaosku menutup bulat pantatnya, yang menampilkan garis batas segitiga celana dalamnya. Husna sedang memasak mie instant, dengan tetap membelakangiku, bersenandung mengikuti sebuah lagu yang saat itu terlalu tidak penting untuk kutangkap, haha..

Beberapa menit kunikmati keindahan tersamar tubuh kekasihku ini. Anak dara yang menemaniku menikmati naik turunnya birahi, jauh sebelum waktu yang seharusnya, haha..

Gerakanku menarik ekor matanya. Husna menoleh, mendapatiku menatapnya dengan ekspresi yang mungkin mirip raut muka pemerkosa, haha..

“Ngeliatin segitunya.. pake nunjuk-nunjuk lagi, hihi..” katanya memonyongkan bibir.

“Nunjuk?” tanyaku tidak mengerti.

“Tuh, di bawah.. hihi..”

Ternyata batang lelakiku sudah tegak begitu saja. Mengacung seperti jarum kompas, menunjuk arah destinasi ke mana seharusnya dia bertualang.

Jengah, kubetulkan sedikit posisi penisku. Sulit menyembunyikan ketika celana hanya selapis yang dikenakan. Kudekati Husna, kupeluk frontal.

“Kak, makan dulu deh, itu ada mie..”

Kurasakan dadanya yang bulat kenyal mengganjal pelukan kami. Puting susunya masih keras, mungkin karena hisapanku sore tadi, atau hanya karena habis mandi. Dengan gemas kuremas pantatnya.

“Sudah, Kak, ga capek, apa..” katanya mendorongku ke meja makan.

Aku mengalah, lalu duduk dan menikmati apapun yang dia sajikan. Kami makan berdua, sambil mengamati petang hari turun mengganti cahaya.

***

“Mmmmmhhh.. Kak.. pelan, jangan dibikin merah.. Aaahh..” desah Husna saat kuciumi lehernya dari samping.

Kami duduk di tepi ranjang, di kamar di lantai dua. Segera setelah makan tadi, seolah telah direncanakan, kami berdua langsung masuk kamar. Husna mematikan lampu utama, dan menyalakan bedside lamp, yang sinarnya lebih redup.

Kami duduk bersisian, langsung berciuman, tidak ingin membuang kesempatan. Hasrat kami begitu menggebu, dan musuh kami adalah waktu. Husna sempat berkata, saat aku tadi mandi, dia sudah mengecek semua jendela dan pintu. Kami bebas mengeksplolasi wilayah baru, dengan ekspresi sebebas yang kami mau.

“Adek memang jarang pake bra kah, di rumah?” tanyaku di sela kesibukanku di lehernya.

“Ga lah, kak.. Aahhhh.. hanya hari ini, karena ada kak Nanta yang temani.. Mmmmhhh.. Kak.. Geli..”

Kami seperti pasangan pengantin baru, bercumbu di kamar sendiri. Kamar ini kelak menjadi kamar Husna dan suaminya. Setelah menikah, pada tahun pertama mereka menumpang di rumah ini. Ironis.

Husna menjadi lebih berani. Tangan terdekatnya bergerak menuju selangkanganku, menangkup dan meremas-meremas batang kejantananku. Berkali-kali aku meringis dibuatnya, saat gerakannya terlalu kasar, atau terasa memelintir keras. Tetapi Husna cepat belajar. Singkat kemudian, dia sudah tahu cara mempermainkan emosiku, dengan pijatan dan elusan di kaki ketigaku.

“Kak, ukuran segini memangnya bisa masuk?” katanya saat jemarinya lebih berani disusupkan ke dalam celana boxerku.

“Belum pernah dengar cerita ada yang ga muat masuk, dek.. jadi pasti bisa.. haha..” kataku sambil merengkuh Husna ke pangkuanku, berhadap-hadapan, gaya faforitku.

Aku sangat suka memangku gadisku dalam posisi ini. Tangan lebih bebas, memeluk pinggang, meremas pantat, menangkup payudara. Jika hendak memainkan vaginanya, cukup rebahkan diri ke belakang, biarkan si wanita duduk tegak, letakkan telapak tangan di pangkal paha, perbatasan paha dengan pinggangnya, dan arahkan ibu jari ke klitorisnya. Sentuh, lalu getarkan. Cara ini juga terbukti mempercepat orgasme wanita yang sedang bergaya WoT. Kubuktikan itu kemudian, dengan Lily, gadis yang senang di atas. Tapi itu cerita lain, masa yang berbeda.

Posisi ini juga membuatku bebas memilih apa yang hendak kuciumi. Bibir, leher, puting susu, ketiak, dan kuping. Semua dalam jangkauan cumbu.

Saat ini kupilih hidangan terdekat di depan mata, sepasang buah dada. Aroma sabun samar-samar kucium dari kulit susunya yang lembut dan kencang. Kuhirup dalam wangi tubuhnya, kucucup pelan kuncup payudaranya. Kaosnya – kaosku – tersingkap ke atas, tergulung di antara leher dan kedua bukit indahnya.

“Ouuhhh.. Nnnnhh.. Kak Nanta suka itu, kah? Ahhh..” tanya Husna tentang daging kenyal di dadanya.

Remaja senang dipuji. Normalnya, mereka suka bertanya kepada pasangannya, apa sih yang kamu suka dariku?. Gadis –gadis akan senang jika jawabannya adalah tentang pribadi mereka, sifat mereka. Tetapi juga akan tersanjung dan tersipu jika kita terus terang memuji sesuatu pada fisiknya.

“Iya, sukalah..” jawabku singkat, meneruskan hisapanku dengan kuat.

“Mmmmmhh.. Besar kah, Kak?” tanyanya lagi. Remaja labil.

“Iya, dek, besar..”

Saat itu, payudara paling besar yang nyata dan terbuka yang pernah kulihat memang adalah milik Husna. Menjadi berbeda saat kukenal Lily, gadis yang akan kuceritakan pada kali berbeda setelah ini.

“Itu punya kak Nanta, kak Nanta maini sepuasnya.. Aahhhhhh.. Kak, sakit, jangan digigit..” suhu sekalian tentu paham, godaan puting saat mengeras, sulit untuk tidak digigit, hehe..

Kurebahkan badanku ke tempat tidur, tubuh Husna mengikut turun menindihku. Dengan tekun dia mulai menciumi wajahku. Mata, pipi, hidung, lalu tertambat di bibirku. Tangannya tertekuk bertumpu di sisi kepalaku.

“Mmmmhhhh.. Kak Nanta pasti sudah banyak perawani bibir cewek lain.. Mmmmmhh.. Hayo ngaku..”

“Iyalah, kalo cuma bibir, sudah sering..” jawabku berbohong. Boro-boro ciuman, pacaran saja baru ini yang pertama. Tetapi dia tidak perlu tahu, bahwa ini juga pelajaran pertamaku, bahwa Husna adalah preparatku, seperti aku yang menjadi bahan praktik baginya, haha..

Prosesi berciuman kami selalu mengambil waktu yang lama. Rasanya tidak terpuaskan, menikmati kuluman, gigitan dan pijatan area oral kami, satu sama lain. Sambil menikmati cumbuan bibirnya, tanganku mantap turun meremas gumpalan nan bulat pantatnya. Husna senang jika pantatnya dicubit kecil saat berciuman. Cubitan itu mempercepat vaginanya basah, katanya.

Sebelah tanganku menangkup, mencubit, meremas pantatnya, bergantian di sini dan di sana. Sebelah lagi naik mengelus lembut punggungnya di balik kaos longgarnya.

Tubuh Husna ramping, tetapi tidak kurus. Ada lapisan-lapisan lemak tipis di bagian-bagian tubuhnya, yang membuatku nyaman meremas. Pinggangnya berlekuk, tetapi tidak langsing-langsing amat. Chubby kata kalian, cambondeng kata orang sini. Gadis dengan bentuk tubuh seperti ini adalah yang paling nikmat dicumbu. Cukup ringan untuk segala macam gaya, dan cukup berlekuk membulat untuk digigit dan diremas di – hampir – semua tempat.

Tanganku bergerak dari punggung ke sisi tubuh Husna, ke pinggang, lalu ke depan, menangkup sebelah susunya. Kuremas lembut, sambil memilin putingnya..

“Mmhhhhh.. buka saja Kak.. Ahhh..”

Kuhentikan sejenak cumbuanku saat Husna duduk tegak, menarik kaosnya lepas ke atas. Kutarik kembali tubuhnya, kupeluk rapat. Bibir kami bertemu kembali, berkecipak penuh rindu.

Di dadaku, puting susunya mengeras, mengganjal manis. Kugulingkan badan, berbalik menindihnya. Dari balik celana masing-masing, kelamin kami saling menggoda. Batangku yang keras menggesek mekinya yang sedikit menggunduk dan basah. Kain ini mengganggu.

Kutegakkan diri. Kuangkat kakinya ke bahuku. Kami bersitatap dalam senyum malu-malu. Tanganku bergerak mengelus betisnya, lututnya, pahanya.. Bergerak mantap menuju garis batas celana dalamnya. Husna mengangkat pantatnya saat kutarik lolos celana dalamnya ke bawah. Tangannya refleks bergerak mencoba menghalangi pandanganku ke vaginanya yang terekspose terbuka.

“Ih, mau lihat, dek, jangan ditutup lah..” kataku tersenyum.

Kutarik kedua tangannya, kulebarkan pahanya. Amboi.. Pemandangan baru terpampang di sana.

Vaginanya sudah sangat basah. Hiasan rambut halus di bagian atasnya juga terlihat basah, akibat rembesan dari celana dalamnya. Pikiran iseng dan coba-coba muncul di kepalaku.

Perlahan kuturunkan wajah, mengecup pelan pahanya sebelah dalam, bergerak perlahan, kutelusurkan lidahku menuju selangkangan, menapaki bibir luar vagina Husna..

“Aaahhhhhh.. Kak.. Jangan.. Ga usah.. Kak... Aahhhhhhh..”

Tidak kuhiraukan apa kata Husna, toh, dia juga tidak sungguh-sungguh menolaknya. Tangannya turun meremas rambutku, sebelah tangannya meremas seprai di samping wajahnya. Kujilati lipatan bibir luar vaginanya. Terasa asin, dengan aroma khas cairan wanita. Sebenarnya kurang sedap, tetapi aku belum peduli saat itu. Kuteruskan jilatanku lebih dalam, sesekali lidahku menyapu lipatan dalam celah sempitnya.

“Ahhhh.. Kak.. Aaaaaahhhh.. itu kan, jorok, ahhhh...” kata-katanya menghilang, tenggelam dalam kenikmatan yang kusentuhkan di liang kewanitaannya..

Kutemukan tonjolan samar klitorisnya, kujepit dengan bibir, seperti saat memainkan puting susunya. Kucucup perlahan, lalu semakin kencang..

“Ooooouuuuhhhhhh.. Ssshhhhh.. Ahhhhh.. Kak..hhh..” Husna menggelepar, dia mencapai orgasmenya yang pertama.

Kutinggalkan sejenak Husna, terlentang dalam bugilnya. Kucuci wajah dan mulutku di toilet dalam kamar itu. Saat kembali, Husna sudah bersembunyi dalam selimut, tersenyum, menungguku..

Tanpa membuang waktu, kutanggalkan kain penutup bagian bawah tubuhku. Kusingkap selimut, lalu menindih Husna di baliknya. Duh, nyamannya, menindih tubuh bugil kekasih, di dalam selimut. Serasa bagai suami istri, hihi..

Kami berciuman, dalam, basah dan mesra. Kubangkitkan kembali gairahnya, yang belum hilang sepenuhnya, dengan remasan dan plintiran pada putik dan puting susunya. Tangan Husna bergerak alami ke batang penisku yang sudah tegang maksimal. Dielusnya perlahan, dengan gerakan memijat, pangkal hingga ujungnya.

Kuturunkan wajahku ke buah dadanya, hingga aku menghilang sepenuhnya ke dalam selimut. Husna melepaskan pegangannya dari penisku. Posisinya kini tidak terjangkau oleh jarinya. Kutekuni puting susunya sebelah-menyebelah, menghisap, mencucup.

Sebelah tanganku kembali turun membelah liang sempit nan membanjir di sela pahanya.

“Ahhhh.. Kak.. Kak Nanta, lale.. Nakal.. Aahhhh..” ceracaunya sambil mengelus punggungku, meremas rambut di belakang kepalaku.

Kunaikkan wajahku kembali, menatapnya dalam jarak embusan nafas. Mata kami saling menatap. Kedua paha Husna melebar, memberiku akses menindihnya dalam jepitan kaki mulusnya. Lalu perlahan, Husna mengangguk..

“Iya, Kak.. adek mau..” jawabnya untuk pertanyaan yang tidak kulontarkan.

Tanganku turun, menggenggam batang penisku, mengarahkan kepalanya menuju liang senggama Husna, yang basah, menantang nan muda..

Beberapa kali percobaan gagal. Kulirik sekilas, bibir vaginanya memerah, mungkin mulai lecet. Husna lalu membantu dengan mengarahkan kepala penisku menuju liang yang seharusnya. Perlahan, kepala penisku mulai menemukan pintunya.

“Akkhhh.. Kak..” Husna meringis saat dirasakannya benda asingku menyeruak menyelidik di relung vaginanya.

“Mmmmhh.. Dek, sakitkah? Aaah..”

Jawabannya datang dalam bentuk pelukan erat di leherku. Lalu bisiknya di telingaku,

“Terus, kak.. adek mau..”

Trenyuh aku mendengar bisikannya. Lembut namun mantap. Keraguanku hilang. Kuteruskan dorongan pinggulku perlahan. Kurasakan vagina sempit Husna terbelah, menyambut batangku sedikit demi sedikit, kulit demi kulit..

Penisku sudah masuk setengah saat kusadari pipi Husna basah. Kuangkat wajahku, ditahan oleh pelukannya yang bertambah erat.

“Terus, kak.. jangan berhenti..”

“Aaaaakkhh..” jerit kecilnya terdengar keras, menggema di kamar, saat penisku masuk seluruhnya. Pahanya melemas jatuh, tetap mengangkangiku tetapi Tidak lagi melingkar menjepit pinggangku. Kami terdiam lama, menikmati pelukan satu sama lain. Kurasakan puting susunya mencuat di dadaku, badannya naik turun seiring nafas yang memburu, dan dekapan vaginanya di penisku, sempit nan basah..

Kupindahkan telapak tanganku ke pipinya, lalu kudekatkan bibirku, mengecup lembut bibirnya. Lengannya berpindah ke bawah ketiakku, terus menelikung ke atas, tersampir di kedua bahuku. Aku siap bergerak.

Kutarik perlahan pinggulku, lalu kutekan kembali. Ada aaahh.. pada setiap tarikan, dan terdengar ooouuhh.. di setiap tusukan.

Perlahan-lahan gerakanku semakin konstan. Vaginanya semakin licin, lembut, menghisap dan terasa memilin. Vagina perawan memang tidak ada tandingannya!

Gerak memompa pinggulku makin mantap, makin lancar dan makin nikmat.

“Aaaahhhh.. Kak.. Oouuhhh.. Aaahhhh.. Perih, kak..” jerit Husna berulang-ulang. Mungkin terdengar tetangga, aku tidak peduli. Rintihannya terus terdengar, makin lama makin tajam dan dalam. Kekasihku tersiksa rasa sakit dan kenikmatan, menyerangnya bergantian, secara simultan.

Kurasakan penisku berkedut, melembung, siap memancarkan laharnya. Kucepatkan gerakanku. Husna mencakari punggungku, menggigit bahuku.

“Aaaahhh.. dek, hampirrr.. Aaaaahhh..” tak sadar aku mengerang.

Lalu ledakan warna-warni di kepalaku, seiring membuncahnya ribuan sel sperm, menyembur ke dalam vagina Husna, yang tetap memelukku erat.

Aku mencapai klimaks. Perlahan kesadaran berangsur memenuhi kepalaku. Husna masih mendesah seiring gerak gelepar tubuhku, follow trough dari orgasme yang baru melandaku.

Batangku mengerut, hihi..

Kami berpelukan. Pasti Husna kentang saat itu. Namun apa dayaku, ini orgasme pertamaku dalam vagina wanita. Kekuatanku tersedot habis sepenuhnya.

Kami berpelukan lama. Kulirik jam dinding, masih jam delapan lewat sedikit. Masih banyak waktu untuk memuaskan Husna, pikirku.

Husna bangkit, hendak membersihkan diri, katanya.

Lalu kantuk menyerangku. Hal terakhir yang kulihat sebelum tidur mengambil alih kesadaranku adalah Husna, yang menyusup kembali ke dalam selimut, bergelung tidur memelukku..