Husna dan Lily #2
Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Sambil terus mengulum-gigit bibirnya, tangan kiriku perlahan melepas kait bra di punggung Husna. Lalu tanpa membuang waktu, tangan kananku menyusup cepat, menangkup payudara kirinya. Aduhai, suhu sekalian, bayangkan rasanya…
Prosesi saling pagut dan pijat bibir menjadi tersamar. Konsentrasiku terpecah ke gundukan kenyal nan membusung yang sedang kutangkup. Haruskah diremas? Dengan tekstur keras seperti ini, bukankah akan sakit jika diremas-remas? Jika sakit, akankah pikiran sehatnya kembali, lalu mundur dari semua ini? Meninggalkanku dalam kekentangan?
Terlalu banyak berpikir membuatku tidak lagi menikmati kuluman dan lumatan bibir Husna. Karenanya kuturunkan bibirku, mencecap lembut dagunya, lehernya, lalu terus mengitari wajahnya, menuju kulit tipis di belakang telinganya.
“Jangan berbekas, Kak..” suaranya teredam desah. Jelas sekali akal sehatnya kian terkabur birahi.
Tangan kananku yang sedari tadi hanya mengusap dadanya, kini kugerakkan setengah meremas.
“Nnggghhh..” desahnya, mengigit bibir bawahnya..
Kuangkat sebentar wajahku, mencoba menangkap pandangannya dari sela kelopak yang setengah terkatup. Husna menatapku, tersenyum, seperti menguatkan, meminta aku melanjutkan..
Dengan ibu jari dan ketiga jariku yang lain, perlahan kuremas kembali putik susunya sebelah kiri. Sementara jari telunjukku mencoba mencari kuncup yang pasti ada, haha..
Tetapi kuncup yang kucari tidak kunjung ketemu. Di puncak putik susunya hanya ada area lunak yang agak melesak ke dalam. Setiap kali jari telunjukku menyentuh dan – sedikit – menusuk area itu, jeritan kecil muncul dari bibir Husna. Kelak kuketahui, area itu bernama areola.
Mengapa putingnya tidak teraba? Sekali lagi konsentrasi bercumbu itu terganggu. Dengung birahi di ubun-ubunku berkurang, berganti kesadaran. Kuhentikan sejenak cumbuanku, meski tangan kananku tetap di tempatnya yang terlanjur nyaman dan istimewa.
Mata Husna terbuka, dahi kami bersentuhan, juga ujung hidung kami. Terasa nafas kami yang memburu berangsur stabil, kembali dalam ritme biasa. Walaupun aku tahu, sedikit picu saja, akan membakar hasrat bercumbu kami kembali.
“Dek, sakitkah?” tanyaku berbasa-basi.
Husna menggeleng pelan, “Geli, Kak..”
“Bra-nya ukuran berapa, Dek? Besar juga..”
“Nomornya 34, Kak. Tapi nomor itu menunjukkan lingkar dada, kak, bukan mangkuknya..” bisiknya tersenyum, jidatnya masih tersandar di jidatku. Saat berkata, bibirnya terasa sedikit menyapu bibir dan pipiku.
Sebuah pelajaran baru tentang ukuran bra wanita, kucatat dalam dalam benakku pada hari itu. Haha..
“Tapi kok tidak ada putingnya?” kataku setengah tertawa, jari telunjukku kulesakkan ke kuncup bukitnya.
Husna melengos, mencubit hidungku, lalu katanya, “Ya belum muncullah, kak, kan belum pernah disentuh orang..”
“Itu hanya muncul kalo lagi kedinginan, pas mandi, berenang, atau bangun pagi..” lanjutnya lagi, pelajaran baru lagi.
“Mau lihat ah..” kataku sambil mencoba menyingkap kaosnya.
“Ih, lale-nya.. Jangan, kak..” dia agak terkikik, menggeliat mencegah tanganku membuka kaosnya.
Lale adalah istilah umum di daerahku, untuk perilaku terkait erotisme dan atau pornografi/aksi. Jika seorang pemuda melontarkan lelucon porno, maka sebutannya adalah pemuda-lale. Jika ada anak SD mengintip dalaman bawah teman cewek di kelasnya, maka dia akan dijuluki si lale oleh teman-temannya.
Geliat tubuh Husna yang setengah hati tidak dapat menghalangi niatku membuka kain penutup dadanya. Dalam satu gerakan, sekaligus tersingkap kaos dan bra-nya. Tangan kiriku berputar ke belakang tubuhnya – yang masih duduk menyamping di pangkuanku – dan menangkap tangan kirinya, agar tidak menghalangi tanganku yang satunya. Sedangkan tangan kanannya masih melingkar di leherku.
Terpampanglah dua bukit indah nan menantang, ranum dan kencang. Dengan bulir keringat yang memberi aksen segar. Seperti ilustrasi iklan buah di teve, haha..
Dengan wajah merah padam, mungkin malu, atau jengah, Husna menarik tangan kirinya, lepas dari peganganku. Lalu berdiri..
Dan tanpa memperbaiki posisi baju dan branya, Husna kembali duduk di pangkuanku, dan kali ini badannya dihadapkan padaku! Dua lengannya diletakkan di bahuku, wajahnya menunduk, tersenyum manis sekali. Senyum yang jika kini berusaha kuingat, amat sangat sulit rasanya. Mengapa? Karena saat itu beberapa mili di depan wajahku, terpampang pemandangan lain yang lebih dahsyat.
Amboi, suhu sekalian, dua putik susu yang menggemaskan, seolah menggapai meminta diremas-remas.
Tetapi alih-alih meremasnya, tanganku kunaikkan, keduanya. Ibu jari dan telunjukku menyentuh kedua bukit itu dengan posisi menopang. Lalu dengan perlahan, kudekatkan wajahku, kukecup kuncupnya..
Puting susu Husna – yang ternyata ada! – masih tenggelam saat itu. Kukecup, kuhisap dalam bergantian, berulang-ulang..
Wajah Husna seketika menengadah, jeritan kecil terlontar berulang-ulang dari bibirnya.
“Akh, Kaakk.. Ssshh... Hhnnnn.. Kaak... Ouhh..”
Tangannya meremas rambut di belakang kepalaku, menekan wajahku lebih dalam, terbenam dalam keindahan payudara remajanya..
Prosesi saling pagut dan pijat bibir menjadi tersamar. Konsentrasiku terpecah ke gundukan kenyal nan membusung yang sedang kutangkup. Haruskah diremas? Dengan tekstur keras seperti ini, bukankah akan sakit jika diremas-remas? Jika sakit, akankah pikiran sehatnya kembali, lalu mundur dari semua ini? Meninggalkanku dalam kekentangan?
Terlalu banyak berpikir membuatku tidak lagi menikmati kuluman dan lumatan bibir Husna. Karenanya kuturunkan bibirku, mencecap lembut dagunya, lehernya, lalu terus mengitari wajahnya, menuju kulit tipis di belakang telinganya.
“Jangan berbekas, Kak..” suaranya teredam desah. Jelas sekali akal sehatnya kian terkabur birahi.
Tangan kananku yang sedari tadi hanya mengusap dadanya, kini kugerakkan setengah meremas.
“Nnggghhh..” desahnya, mengigit bibir bawahnya..
Kuangkat sebentar wajahku, mencoba menangkap pandangannya dari sela kelopak yang setengah terkatup. Husna menatapku, tersenyum, seperti menguatkan, meminta aku melanjutkan..
Dengan ibu jari dan ketiga jariku yang lain, perlahan kuremas kembali putik susunya sebelah kiri. Sementara jari telunjukku mencoba mencari kuncup yang pasti ada, haha..
Tetapi kuncup yang kucari tidak kunjung ketemu. Di puncak putik susunya hanya ada area lunak yang agak melesak ke dalam. Setiap kali jari telunjukku menyentuh dan – sedikit – menusuk area itu, jeritan kecil muncul dari bibir Husna. Kelak kuketahui, area itu bernama areola.
Mengapa putingnya tidak teraba? Sekali lagi konsentrasi bercumbu itu terganggu. Dengung birahi di ubun-ubunku berkurang, berganti kesadaran. Kuhentikan sejenak cumbuanku, meski tangan kananku tetap di tempatnya yang terlanjur nyaman dan istimewa.
Mata Husna terbuka, dahi kami bersentuhan, juga ujung hidung kami. Terasa nafas kami yang memburu berangsur stabil, kembali dalam ritme biasa. Walaupun aku tahu, sedikit picu saja, akan membakar hasrat bercumbu kami kembali.
“Dek, sakitkah?” tanyaku berbasa-basi.
Husna menggeleng pelan, “Geli, Kak..”
“Bra-nya ukuran berapa, Dek? Besar juga..”
“Nomornya 34, Kak. Tapi nomor itu menunjukkan lingkar dada, kak, bukan mangkuknya..” bisiknya tersenyum, jidatnya masih tersandar di jidatku. Saat berkata, bibirnya terasa sedikit menyapu bibir dan pipiku.
Sebuah pelajaran baru tentang ukuran bra wanita, kucatat dalam dalam benakku pada hari itu. Haha..
“Tapi kok tidak ada putingnya?” kataku setengah tertawa, jari telunjukku kulesakkan ke kuncup bukitnya.
Husna melengos, mencubit hidungku, lalu katanya, “Ya belum muncullah, kak, kan belum pernah disentuh orang..”
“Itu hanya muncul kalo lagi kedinginan, pas mandi, berenang, atau bangun pagi..” lanjutnya lagi, pelajaran baru lagi.
“Mau lihat ah..” kataku sambil mencoba menyingkap kaosnya.
“Ih, lale-nya.. Jangan, kak..” dia agak terkikik, menggeliat mencegah tanganku membuka kaosnya.
Lale adalah istilah umum di daerahku, untuk perilaku terkait erotisme dan atau pornografi/aksi. Jika seorang pemuda melontarkan lelucon porno, maka sebutannya adalah pemuda-lale. Jika ada anak SD mengintip dalaman bawah teman cewek di kelasnya, maka dia akan dijuluki si lale oleh teman-temannya.
Geliat tubuh Husna yang setengah hati tidak dapat menghalangi niatku membuka kain penutup dadanya. Dalam satu gerakan, sekaligus tersingkap kaos dan bra-nya. Tangan kiriku berputar ke belakang tubuhnya – yang masih duduk menyamping di pangkuanku – dan menangkap tangan kirinya, agar tidak menghalangi tanganku yang satunya. Sedangkan tangan kanannya masih melingkar di leherku.
Terpampanglah dua bukit indah nan menantang, ranum dan kencang. Dengan bulir keringat yang memberi aksen segar. Seperti ilustrasi iklan buah di teve, haha..
Dengan wajah merah padam, mungkin malu, atau jengah, Husna menarik tangan kirinya, lepas dari peganganku. Lalu berdiri..
Dan tanpa memperbaiki posisi baju dan branya, Husna kembali duduk di pangkuanku, dan kali ini badannya dihadapkan padaku! Dua lengannya diletakkan di bahuku, wajahnya menunduk, tersenyum manis sekali. Senyum yang jika kini berusaha kuingat, amat sangat sulit rasanya. Mengapa? Karena saat itu beberapa mili di depan wajahku, terpampang pemandangan lain yang lebih dahsyat.
Amboi, suhu sekalian, dua putik susu yang menggemaskan, seolah menggapai meminta diremas-remas.
Tetapi alih-alih meremasnya, tanganku kunaikkan, keduanya. Ibu jari dan telunjukku menyentuh kedua bukit itu dengan posisi menopang. Lalu dengan perlahan, kudekatkan wajahku, kukecup kuncupnya..
Puting susu Husna – yang ternyata ada! – masih tenggelam saat itu. Kukecup, kuhisap dalam bergantian, berulang-ulang..
Wajah Husna seketika menengadah, jeritan kecil terlontar berulang-ulang dari bibirnya.
“Akh, Kaakk.. Ssshh... Hhnnnn.. Kaak... Ouhh..”
Tangannya meremas rambut di belakang kepalaku, menekan wajahku lebih dalam, terbenam dalam keindahan payudara remajanya..
Puting susu Husna yang sebelumnya tenggelam dalam areola, kukecup, kuhisap dalam bergantian, berulang-ulang..
Wajah Husna seketika menengadah, jeritan kecil terlontar berulang-ulang dari bibirnya.
“Akh, Kaakk.. Ssshh... Hhnnnn.. Kaak... Ouhh..”
Tangannya meremas rambut di belakang kepalaku, menekan wajahku lebih dalam, terbenam dalam keindahan payudara remajanya..
Tubuh bagian atas Husna menggelinjang, menanggapi sentuhan bibir dan lidahku yang bertubi-tubi di buah dadanya. Matanya terkatup rapat, sesekali membelalak, setiap kali – mungkin – dirasakannya sensasi baru yang menusuk-nusuk kesadarannya.
Geliat tubuhnya sedikit menyusahkanku dengan kegiatan baruku yang nikmat. Maka tanganku perlahan kupindahkan dari payudaranya, turun menangkup bulatan pantatnya, yang melembung empuk di pangkuanku. Kuremas lembut dengan tujuan sedikit menahan gerak tubuhnya yang tersentak-sentak.
Kian lama kurasakan puting susunya semakin mengeras dan mencuat. Sensasi perubahan tekstur saat putingnya mengalami ereksi, terasa membuai lidah dan bibirku. Kupelankan hisapanku di sebelah sini, dan kumainkan jariku di puting sebelah sana. Terlupa aku persisnya, tetapi suhu sekalian tentu paham maksudku.
“Kak, mulai perih..” rintihnya, di sela cumbuanku.
Ujar singkatnya membuatku terbangun dari lena. Ternyata aku keenakan nenen, sehingga tidak sadar waktu sudah berjalan lama. Matahari mulai meninggi. Jam pulang sekolah tinggal sejam lagi.
Kukecup singkat bibirnya, lalu kuajak berdiri dan merapikan bajunya. Sambil mengawasi arah jalan, sesekali kulirik gadisku yang tengah mengenakan kerudungnya kembali. Husna merapikan kerudungnya sambil duduk di sebuah batang pohon tumbang. Bentuknya seperti bangku, mungkin memang sering dijadikan wahana bercumbu bagi pasangan-pasangan yang tahu, haha..
Gerak tubuh Husna yang sedang merapikan pakaiannya entah mengapa memicu gairahku bangkit kembali. Nekad, kupeluk dia dari belakang, tubuhnya sedikit kuangkat, kuposisikan kami duduk searah, seperti sedang menunggang kuda, dengan Husna di depanku.
Setengah terkejut, Husna menggapai ke belakang, menyentuh pipiku,
“Kak, sudah siang, sudah dulu lah..”
“Sebentar saja,” kataku. ,”Nanti motornya bisa dikebut, biar cepat sampai..”
“Kak, ahhh.. sudah.. Mmmhhh..” kalimatnya tertahan, saat pipinya kupalingkan ke belakang, dan kulumat lagi bibirnya.
Kedua tanganku turun naluriah, seperti sudah fitrahnya, menyentuh, menangkup dan meremas dadanya..
“Mmhhh.. Kak, yang itu sakit.. masih perih ujungnya..” Husna mendesah..
Lalu tanganku mesti ke mana? Suhu tentu tahu, betapa tidak nyamannya french kiss, tanpa tangan disemayamkan di suatu tempat.
Maka sementara, sambil terus melumat bibirnya, tanganku turun, mengusap-usap perutnya yang rata. Sebelah tanganku yang lain bergerak lebih ke bawah, memainkan kancing jeans-nya.
Klik. Terbuka sudah mekanisme pengaman pertama. Tinggal menarik turun resluiting-nya. Kutemukan kepala zipper itu dengan tangan kanan, kutarik turun perlahan. Husna adalah pencium yang baik, dia cepat belajar dan sangat menikmatinya. Kelak hal ini kusadari pada percumbuan-percumbuan kami kali berikutnya. Jadi saat dia tengah terlena dengan pertukaran saliva kami, kususupkan tangan kiriku, ke dalam jeans, ke dalam underpants, langsung menuju celah di antara ke dua kakinya..
Saat jariku mulai menyentuh kulit bagian bawah perutnya, menyentuh halus rambut-rambut tipis yang menghiasi ujung bawah tubuhnya, kurasakan punggungnya seketika tersentak. Tangannya spontan bergerak menggenggam pergelangan tanganku, mencoba menariknya menjauh. Tarikannya kali ini berbeda, penolakannya terasa bersungguh-sungguh.
Sejenak kuhentikan gerak tangan kiriku, kubiarkan terdiam, menangkup area berambut di atas vagina-nya. Bibir kami tidak berhenti dari kegiatan perjabatan-nya, sesekali terdengar kecipak dan kecup, pertanda keterlibatan lidah di dalamnya.
“Jangan yang itu, Kak..” desisnya, terdengar seperti ancaman.
Kuteruskan menciumi bibirnya, menyapu rongga mulutnya dengan lidah. Kami pencium pemula yang sedang belajar bersama, dengan pengalih berhatian berupa payudara dan vagina! Haha..
Selang beberapa saat, rasa penasaran kami menang. Pegangannya pada lenganku mengendur, membiarkan jari tangan kiriku bergerak pasti, menelusuri semak lembutnya, menuju belahan di antara pahanya..
“Ouuuhhh.. Kak.. Kakak lalee.. Kenapa, aaahhhh.. Kenapa turun ke situuuhhh.. Ahhh..” kepalanya menengadah, pasrah dan bersandar ke bahuku. Sangat kontras, kalimat yang diucapkannya, dengan gesture tubuhnya.
Perlahan, jari tengahku mulai menelusup ke vaginanya, mulai dari celah kecil di bagian atasnya.
Suhu sekalian, saat itu barulah saya ketahui, bahwa vagina wanita tidak basah seluruhnya pada saat mendapat ransangan hebat. Bagian atas vagina, di mana terdapat klitoris, terutama, akan tetap kering pada saat itu. Oleh karenanya jangan keburu menyentuh, apalagi menggesek dengan jari pada bagian itu. Alih-alih nikmat, yang terasa justru perih yang tidak terkira. Begitu kata seorang partner belajar saya yang lain, seorang gadis bernama Lily – kelak ceritanya akan saya bagi.
Yang basah pertama kali adalah vulva, lubang di bagian bawah vagina. Di bagian inilah cairan pelumas berkumpul, dan biasanya merembes ke underpants wanita.
“Kak, perih... Ahhhh.. sakit, Kak..” Husna merintih saat jari tengahku meraba celah di bagian atas vaginanya.
Karena bingung, tetapi tidak ingin berhenti, jariku kuarahkan ke bagian lain. Terus menuju ke bawah, kutemukan daerah lunak yang basah. Kumainkan jariku di sana. Tempat ini sempit, tetapi terasa lebih lega ketimbang area atas.
“Mmmhhh.. Ouuhh.. Kak.. Ssshhh.. Ahhh..” desisan dan rintihan, sebuah persetujuan..
Dari arah bawah, kugerakkan jariku menggesek ke arah atas. Tanganku yang basah karena cairan pelumas di bawah, kugeruskan menelusuri celah vaginanya, menuju tonjolan samar, yang kutahu – dari buku – pasti klitorisnya.
Tubuh Husna bergetar hebat, matanya membelalak, tangannya mencengkeram pergelangan tangan kiriku. Tangan yang sedang merangsek, menjelajah teritori tubuhnya yang paling personal. Jariku yang basah kini bergerak bebas, memainkan emosi dan rasa-nya, melalui secuil daging kecil bernama itil. Hihi..
“Oouhhh.. Kak.. Aaaaahhhhh..”
“Sakit, dek?” tanyaku berbisik.
“Aaaahhh.. Kak.. Aaahh..” Husna hanya mendesah, sambil menggeleng kencang.
Kuteruskan kegiatanku sambil menciumi lehernya. Tepatnya menciumi kerudungnya di bagian leher. Badannya kian rapat bersandar. Untunglah perawakannya mungil, sehingga tidak terasa berat.
Tidak lama kemudian, badan Husna bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Kukunya menancap di pergelangan tanganku..
“Kakk.. Akhh.. Kak.. Ooouuhhhhh.. Ahhhh..” badannya menegang, kaku, lalu beberapa detik selanjutnya melemas bagai tak bertulang.
Kekasihku mengalami orgasme-nya yang pertama.
Tubuhnya bersandar dengan nafas memburu. Tanganku masih menangkup selangkangannya, saat perlahan nafas dan detak jantung kami kembali normal dengan perlahan.
Kami merapikan pakaian dalam diam. Bingung hendak mengatakan apa tanpa kecanggungan. Kami berangkat pulang. Husna memelukku dari belakang. Memasuki wilayah Makassar dari utara, Husna meminta diturunkan di sebuah SPBU.
“Husna mau ganti baju, Kak. Biar orang rumah ga curiga. Kak Nanta pulang saja, nanti Husna naik angkot.”
Husna terlihat mantap meminta itu, jadi kuiyakan saja. Kukebut motorku menuju pulang.
Setiba di rumah, kuperiksa ponselku, sebuah indikator pesan baru.
“Kak Nanta lale..
Luv u...”
Wajah Husna seketika menengadah, jeritan kecil terlontar berulang-ulang dari bibirnya.
“Akh, Kaakk.. Ssshh... Hhnnnn.. Kaak... Ouhh..”
Tangannya meremas rambut di belakang kepalaku, menekan wajahku lebih dalam, terbenam dalam keindahan payudara remajanya..
Tubuh bagian atas Husna menggelinjang, menanggapi sentuhan bibir dan lidahku yang bertubi-tubi di buah dadanya. Matanya terkatup rapat, sesekali membelalak, setiap kali – mungkin – dirasakannya sensasi baru yang menusuk-nusuk kesadarannya.
Geliat tubuhnya sedikit menyusahkanku dengan kegiatan baruku yang nikmat. Maka tanganku perlahan kupindahkan dari payudaranya, turun menangkup bulatan pantatnya, yang melembung empuk di pangkuanku. Kuremas lembut dengan tujuan sedikit menahan gerak tubuhnya yang tersentak-sentak.
Kian lama kurasakan puting susunya semakin mengeras dan mencuat. Sensasi perubahan tekstur saat putingnya mengalami ereksi, terasa membuai lidah dan bibirku. Kupelankan hisapanku di sebelah sini, dan kumainkan jariku di puting sebelah sana. Terlupa aku persisnya, tetapi suhu sekalian tentu paham maksudku.
“Kak, mulai perih..” rintihnya, di sela cumbuanku.
Ujar singkatnya membuatku terbangun dari lena. Ternyata aku keenakan nenen, sehingga tidak sadar waktu sudah berjalan lama. Matahari mulai meninggi. Jam pulang sekolah tinggal sejam lagi.
Kukecup singkat bibirnya, lalu kuajak berdiri dan merapikan bajunya. Sambil mengawasi arah jalan, sesekali kulirik gadisku yang tengah mengenakan kerudungnya kembali. Husna merapikan kerudungnya sambil duduk di sebuah batang pohon tumbang. Bentuknya seperti bangku, mungkin memang sering dijadikan wahana bercumbu bagi pasangan-pasangan yang tahu, haha..
Gerak tubuh Husna yang sedang merapikan pakaiannya entah mengapa memicu gairahku bangkit kembali. Nekad, kupeluk dia dari belakang, tubuhnya sedikit kuangkat, kuposisikan kami duduk searah, seperti sedang menunggang kuda, dengan Husna di depanku.
Setengah terkejut, Husna menggapai ke belakang, menyentuh pipiku,
“Kak, sudah siang, sudah dulu lah..”
“Sebentar saja,” kataku. ,”Nanti motornya bisa dikebut, biar cepat sampai..”
“Kak, ahhh.. sudah.. Mmmhhh..” kalimatnya tertahan, saat pipinya kupalingkan ke belakang, dan kulumat lagi bibirnya.
Kedua tanganku turun naluriah, seperti sudah fitrahnya, menyentuh, menangkup dan meremas dadanya..
“Mmhhh.. Kak, yang itu sakit.. masih perih ujungnya..” Husna mendesah..
Lalu tanganku mesti ke mana? Suhu tentu tahu, betapa tidak nyamannya french kiss, tanpa tangan disemayamkan di suatu tempat.
Maka sementara, sambil terus melumat bibirnya, tanganku turun, mengusap-usap perutnya yang rata. Sebelah tanganku yang lain bergerak lebih ke bawah, memainkan kancing jeans-nya.
Klik. Terbuka sudah mekanisme pengaman pertama. Tinggal menarik turun resluiting-nya. Kutemukan kepala zipper itu dengan tangan kanan, kutarik turun perlahan. Husna adalah pencium yang baik, dia cepat belajar dan sangat menikmatinya. Kelak hal ini kusadari pada percumbuan-percumbuan kami kali berikutnya. Jadi saat dia tengah terlena dengan pertukaran saliva kami, kususupkan tangan kiriku, ke dalam jeans, ke dalam underpants, langsung menuju celah di antara ke dua kakinya..
Saat jariku mulai menyentuh kulit bagian bawah perutnya, menyentuh halus rambut-rambut tipis yang menghiasi ujung bawah tubuhnya, kurasakan punggungnya seketika tersentak. Tangannya spontan bergerak menggenggam pergelangan tanganku, mencoba menariknya menjauh. Tarikannya kali ini berbeda, penolakannya terasa bersungguh-sungguh.
Sejenak kuhentikan gerak tangan kiriku, kubiarkan terdiam, menangkup area berambut di atas vagina-nya. Bibir kami tidak berhenti dari kegiatan perjabatan-nya, sesekali terdengar kecipak dan kecup, pertanda keterlibatan lidah di dalamnya.
“Jangan yang itu, Kak..” desisnya, terdengar seperti ancaman.
Kuteruskan menciumi bibirnya, menyapu rongga mulutnya dengan lidah. Kami pencium pemula yang sedang belajar bersama, dengan pengalih berhatian berupa payudara dan vagina! Haha..
Selang beberapa saat, rasa penasaran kami menang. Pegangannya pada lenganku mengendur, membiarkan jari tangan kiriku bergerak pasti, menelusuri semak lembutnya, menuju belahan di antara pahanya..
“Ouuuhhh.. Kak.. Kakak lalee.. Kenapa, aaahhhh.. Kenapa turun ke situuuhhh.. Ahhh..” kepalanya menengadah, pasrah dan bersandar ke bahuku. Sangat kontras, kalimat yang diucapkannya, dengan gesture tubuhnya.
Perlahan, jari tengahku mulai menelusup ke vaginanya, mulai dari celah kecil di bagian atasnya.
Suhu sekalian, saat itu barulah saya ketahui, bahwa vagina wanita tidak basah seluruhnya pada saat mendapat ransangan hebat. Bagian atas vagina, di mana terdapat klitoris, terutama, akan tetap kering pada saat itu. Oleh karenanya jangan keburu menyentuh, apalagi menggesek dengan jari pada bagian itu. Alih-alih nikmat, yang terasa justru perih yang tidak terkira. Begitu kata seorang partner belajar saya yang lain, seorang gadis bernama Lily – kelak ceritanya akan saya bagi.
Yang basah pertama kali adalah vulva, lubang di bagian bawah vagina. Di bagian inilah cairan pelumas berkumpul, dan biasanya merembes ke underpants wanita.
“Kak, perih... Ahhhh.. sakit, Kak..” Husna merintih saat jari tengahku meraba celah di bagian atas vaginanya.
Karena bingung, tetapi tidak ingin berhenti, jariku kuarahkan ke bagian lain. Terus menuju ke bawah, kutemukan daerah lunak yang basah. Kumainkan jariku di sana. Tempat ini sempit, tetapi terasa lebih lega ketimbang area atas.
“Mmmhhh.. Ouuhh.. Kak.. Ssshhh.. Ahhh..” desisan dan rintihan, sebuah persetujuan..
Dari arah bawah, kugerakkan jariku menggesek ke arah atas. Tanganku yang basah karena cairan pelumas di bawah, kugeruskan menelusuri celah vaginanya, menuju tonjolan samar, yang kutahu – dari buku – pasti klitorisnya.
Tubuh Husna bergetar hebat, matanya membelalak, tangannya mencengkeram pergelangan tangan kiriku. Tangan yang sedang merangsek, menjelajah teritori tubuhnya yang paling personal. Jariku yang basah kini bergerak bebas, memainkan emosi dan rasa-nya, melalui secuil daging kecil bernama itil. Hihi..
“Oouhhh.. Kak.. Aaaaahhhhh..”
“Sakit, dek?” tanyaku berbisik.
“Aaaahhh.. Kak.. Aaahh..” Husna hanya mendesah, sambil menggeleng kencang.
Kuteruskan kegiatanku sambil menciumi lehernya. Tepatnya menciumi kerudungnya di bagian leher. Badannya kian rapat bersandar. Untunglah perawakannya mungil, sehingga tidak terasa berat.
Tidak lama kemudian, badan Husna bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Kukunya menancap di pergelangan tanganku..
“Kakk.. Akhh.. Kak.. Ooouuhhhhh.. Ahhhh..” badannya menegang, kaku, lalu beberapa detik selanjutnya melemas bagai tak bertulang.
Kekasihku mengalami orgasme-nya yang pertama.
Tubuhnya bersandar dengan nafas memburu. Tanganku masih menangkup selangkangannya, saat perlahan nafas dan detak jantung kami kembali normal dengan perlahan.
Kami merapikan pakaian dalam diam. Bingung hendak mengatakan apa tanpa kecanggungan. Kami berangkat pulang. Husna memelukku dari belakang. Memasuki wilayah Makassar dari utara, Husna meminta diturunkan di sebuah SPBU.
“Husna mau ganti baju, Kak. Biar orang rumah ga curiga. Kak Nanta pulang saja, nanti Husna naik angkot.”
Husna terlihat mantap meminta itu, jadi kuiyakan saja. Kukebut motorku menuju pulang.
Setiba di rumah, kuperiksa ponselku, sebuah indikator pesan baru.
“Kak Nanta lale..
Luv u...”
0 comments :
Post a Comment