Husna dan Lily #7
Lily adalah walaupun, bukan karena.
![]() |
| Lily |
Kedekatanku dimulai dengan banyak kemakluman atas kekurangan satu sama lain, bukan dengan alasan kelebihan diri.
Aku tidak ingat pernah berkata, "aku suka dia karena..," tetapi sebaliknya, aku sering berpikir, "kami tetap bersama, walaupun.."
Kami bertahan dengan banyak walaupun. Walaupun aku lebih muda, walaupun secara fisik dia di luar kriteria. Walaupun menurutnya aku kekanakan, walaupun � dalam banyak hal � kami sering berbeda pandangan. Walaupun kami tidak pernah dijodoh-jodohkan, walaupun kami akhirnya mesra tanpa pernah mengucap kata jadian. Walaupun kulitnya putih, walaupun aku tidak lebih tinggi.
Sejatinya berpacaran baru kurasakan saat itu, saat menjalaninya dengan Lily. Setidaknya demikian yang kukira sampai kami akhirnya berpisah.
Tetapi ijinkan aku menceritakannya peristiwa demi peristiwa..
***
Kuberanikan diri bergerak, memeluknya dari belakang. Kuletakkan daguku di bahunya, kukecup lembut kuping di balik kerudungnya.
"Li, kalo ngambek, berarti kamu yang ingusan..."
Lily bergeming. Kukecup sekali lagi, kini di pipinya, langsung menyentuh kulitnya. Bahunya sedikit bergerak, badannya yang semula tegak terasa mengendur, setengah bersandar ke pelukanku.
�Lepas, ih..� pintanya lirih.
Kulepas pelukanku dari pinggangnya, lalu bersandar di kursi. Gerak tubuhku yang sedikit rebah bersandar diikuti oleh Lily, yang kini ikut bersandar di bahuku. Kami duduk dalam diam beberapa saat. Posisi duduk kami yang begitu dekat membuatku memperhatikan beberapa detail dari diri Lily.
Kusadari saat itu, bahwa dalam posisi duduk, wajah kami sejajar tingginya. Ini berarti punggung kami sama panjang, tetapi kaki Lily lebih jenjang. Kuamati juga selarik garis samar di punggung tangannya sebelah kanan, seperti bekas luka yang sudah lama pulih. Tidak luput kuamati kukunya yang berwarna, mungkin baru dicat tadi pagi. Kuku berwarna biasanya berarti si gadis sedang datang bulan. Seperti biasa, duduk diam membuat pikiranku selalu menerawang.
�GR banget sih, sok dicari. Siapa juga yang mau nyari-nyari anak ingusan kayak kamu.�
Lily mengomeliku. Jelas sekali, dia meminta dirayu.
�Sekarang aja kamu ngomongnya begitu. Suatu waktu, kamu bakal treak manggil-manggil namaku dalam tidurmu karena rindu, hihi..� kataku mencoba melucu.
�Huuu.. Kamu itu kayaknya lahir dari ramuan sikap GR, kepedean, narsis, dan megalomania.. ingusan pula..� Lily memonyongkan bibir, mencibir.
Aku tergelak. Kami terdiam sejurus lagi. Lily menoleh ke arahku, wajahnya begitu dekat, dicoleknya daguku dengan bahu,
�Kubuatkan ulang, ya, kopinya..�
�Jika kakak berkenan, adik akan senang sekali..� kataku membelalakkan mata.
Lily mendorong jidatku, lalu berdiri dan beranjak ke dapur. Posisi duduk kami sangat dekat, sehingga saat berdiri, pinggul Lily berputar tepat di depan mataku. Terlihat ganjil bagiku, pinggang kecil yang begitu ramping menyatu dengan pinggul besar ber-kurva bulat.
Lily membungkuk ke depan, memungut cangkir bertutup dari meja. Saat membungkuk, kulirik "walaupun"-ku yang pertama; payudara Lily yang tergantung dengan sangat besarnya. Lengkung garis tubuhnya meliuk, semakin menonjolkan bentuk pinggulnya yang benar-benar bulat.
Mataku lekat memandangi bulatan itu berguncang saat melangkah, kemudian menghilang di ambang pintu tak berdaun menuju bagian dalam rumah. Itu "walaupun"-ku yang kedua.
Terkadang aku heran menyadari betapa berbeda ukuran pria tentang daya tarik wanita. Lily sama sekali tidak sexy menurutku, tetapi sebaliknya bagi pria-pria lain, baiklah, pria-pria pada umumnya. Tetapi kusadari, kriteria dan logika selalu kalah oleh cinta.
Aku menyukai gambaran utuh tentang dirinya, bukan tubuh yang menjadi persemayaman jiwanya. Apabila kuibaratkan lukisan Pantai Tanjung Bira, yang kusukai adalah Tanjung Bira-nya, bukan kanvas dan bingkainya.
Langkah kaki Lily yang mendekat membuyarkan lamunanku. Diletakkannya kopiku yang baru di meja, dengan asap mengepul dari permukaan hitamnya.
�Tuh, diminum ya, jangan dipake mandi,� Lily berujar judes, masih melanjutkan lagak ngambeknya.
�Iya, kakak.. tau aja adik ini belum mandi, hihi..�
�Dasar anak ingusan,� Lily mengempaskan diri di sampingku, rapat seperti semula.
Kami duduk bersisian dengan Lily di sebelah kiri. Perlahan kurangkul bahunya, kutarik semakin rapat, seolah takut dia akan lari. Lily mandah saja, tangan kanannya ditumpangkan di atas lututku. Posisi duduk kami seperti pasangan tua suami istri dalam iklan biskuit jaman dulu, aku jadi terkikik geli.
�Ih, kenapa mesem-mesem begitu?� Lily menoleh padaku, embusan napasnya terasa menyapu wajahku.
Aku tidak menjawab, mata kami bersitatap. Perlahan kudekatkan wajahku, bibirku bergerak maju, lurus menuju bibirnya. Sesaat sebelum jarak di antara kami menghilang, Lily memejamkan mata, aku juga. Sedetik kemudian, nyeri menyengat batang hidungku..
Refleks kudekapkan telapak tanganku ke muka, memijit hidungku, bingung. Lily berdiri tertawa di sampingku. Ternyata, saat kukira bibir kami akan bertemu, Lily mengerjaiku lagi, menyentil hidungku keras sekali. Menurutnya itu lucu, tetapi rasa nyeri di hidungku tidak bisa membuatku ikut tertawa.
Tawa Lily mereda seketika saat dilihatnya, dari sela jariku yang menutup hidung, beberapa tetes darah mengucur ke bajuku. Aku mimisan, suhu sekalian, haha..
Lily jadi panik,
�Duh, Nant, sakit ya? Duh..�
Lily berlari ke dalam, lalu kembali dengan selembar handuk. Tergesa ditariknya kaosku terlepas ke atas, lalu membekap wajahku dengan handuk. Dituntunnya aku ke kamar di sebelah ruang tamu, terus ke kamar mandi. Tidak henti-hentinya dia meminta maaf, mengatakan bercandanya kelewatan, seterus dan sebagainya.
Dengan handuk basah, dibersihkannya wajahku, lalu segulung kapas disumpalkannya di hidungku. Kembali tanganku dituntunnya ke kamar, kali ini aku duduk di kursi rias di kamarnya.
�Duh, Nant, beneran, aku ga tau bakal sekeras itu, jadinya, maaf, ya..� Lily mengulang lagi perkataanya, sambil membuka lemari, mencari sesuatu.
�Haha, iya, tau.. sakit sih, tapi gapapa, ini namanya kecelakaan canda, haha.. eh, kamu nyari apa sih?�
�Bajumu kan kena darah, jadi langsung kurendam biar nodanya hilang. Kamu pake ini dulu.� Lily menyodorkan sebuah kaos longgar.
�Aduh, jadi ga enak, dapat baju baru� huhuhu..� ujarku menggaruk kepala.
Kontan Lily mencubit pipiku, �Jangan pasang muka begitu!� sergahnya.
Kutangkup tangannya, cubitannya lepas, telapaknya menyentuh pipiku. Cubitannya berubah menjadi elusan lembut. Lalu kutarik lengannya, mendekatkan tubuhnya, perlahan kududukkan Lily menyamping di pangkuanku.
Tangannya tetap di pipiku ketika perlahan-lahan wajahnya mendekat. Lalu bibir kami merapat. Pada mulanya hanya kecupan ringan. Satu kecupan, lalu dua. Kemudian sentuhan ujung bibir kami seperti terekat kekuatan magis, mengubah gerakannya menjadi ciuman manis.
Lily adalah pecium pemula. Ciuman pertama kami saat itu hanya serangkaian kecupan lama dan sinambung, bukan lumatan, juga bukan kuluman berpengalaman. Tetapi adalah tugasku untuk menuntunnya, kan, suhu sekalian?
Keindahan dari ciuman adalah pada dinamika gerakannya yang alami. Tidak ada pola gerakan yang baku untuk berciuman. Tidak ada ketukan atau hitungan. Tetapi hanya dengan melakukan, pasangan bisa langsung memahami seperti apa seharusnya bibir dan lidah pasangan diperlakukan.
Bibir kami terus berpagut dengan canggung, kemudian berangsur selaras, seolah tidak lagi ingin lepas. Ciuman kami secara gradual berubah, dari kecupan lembut menjadi lumatan-lumatan panas yang menuntut.
Lily mengangkat wajah sejenak, mengambil napas panjang. Diamatinya wajahku lekat-lekat. Kapas obat di hidungku dilepasnya, dijatuhkan ke lantai begitu saja. Pendarahan di hidungku sudah berhenti, nampaknya.
Sebelum bibirnya kembali turun ke bibirku, aku berdiri dan menggendong tubuhnya, melangkah maju menuju tempat tidurnya. Lily memeluk leherku, membenamkan wajahnya di dadaku yang telanjang.
Kuletakkan lembut tubuhnya di ranjang, lalu kuikuti gerak rebahnya, perlahan menindih tubuhnya. Kembali tangannya memeluk leherku, bibirnya merekah terbuka saat kudaratkan ciumanku di sana.
�Mmmmmmhhhh.. Mmmmmhhhhh..� Lily mendesah, saat kuciumi bibirnya, lehernya, kupingnya, bertubi-tubi.
Kerudungnya yang sudah berantakan terasa sedikit mengganggu, kulepas dengan sebelah tangan, lalu meneruskan cumbuanku. Lehernya yang putih bersih kuciumi, kejepit lembut dengan bibir, menambah dalam desahan-desahan yang terurai dari bibirnya yang penuh.
Bibir penuh, "walaupun"-ku yang, entah ke-berapa..
�Mmmmmhhh.. Aahhh..� desahan Lily terdengar dalam.
Kembali kucumbui bibirnya, lidahnya kini mulai menari di sela bibir dan gigiku, seperti berdansa mengikuti lidahku. Pelukannya kian erat di leherku. Kurasakan buah dadanya yang melembung besar mengganjal dadaku. Padat, kenyal dan keras. Kuberanikan diri menjamahnya.
�Mmmmmhhh.. Mmmmmhhh..� Lily sedikit tersentak saat telapak tanganku meremas sebelah payudaranya.
Gila, tanganku tidak bisa menangkup seluruh permukaannya. Kukeraskan remasanku, Lily mengencangkan pelukannya.
Penasaran, kuarahkan kedua tanganku ke dadanya. Kini aku tengkurap menindih Lily, dengan kedua tangan tertangkup di dadanya. Dalam posisi ini, kedua tanganku sulit meremas, sebab bobot tubuhku sepenuhnya tertumpu di situ. Jadi hanya kuletakkan tanganku, membiarkan gravitasi membantuku menekan payudaranya.
Ciuman kami semakin bernafsu. Tetapi suhu sekalian tentu tahu, ciuman panas punya durasi maksimal. Hentikan atau teruskan ke level selanjutnya, hanya itu pilihannya.
Kuangkat wajahku sejenak, sebelah tanganku menarik cardigan Lily ke samping. Lily meneruskan maksudku, membuka kain berbahan wol itu, melontarkannya ke seberang ruangan.
Nampaklah bagian atas gaun terusan Lily, serupa daster linen dengan bagian atas tidak berlengan. Nampak bahunya yang putih, juga bagian atas dadanya yang membentuk belahan rapat membusung.
Bukaan ini tidak cukup, maka kuraih bahu terusan itu, kuloloskan melalui lengan Lily, lalu kutarik ke bawah. Lily pasrah saja ketika dari balik gaunnya, menyembul dua gunung putih kembarnya yang besar, tertutup sebagian oleh branya yang sempit. Gaunnya kini tergulung di pinggang, menutup hanya setengah tubuhnya bagian bawah.
Kain penopang dadanya seakan tidak cukup menampung bulatan padat nan kenyal di dadanya. Payudaranya seakan hendak tumpah dari behanya.
Kualihkan pandanganku dari sana, aku belum terbiasa melihat lekukan sebulat ini. Kukecup bibirnya, dibalasnya dengan lembut. Namun kebiasaan meremas dan memilinku seperti sudah mengambil bagian otonom dalam sistem organ gerakku. Tanganku naluriah turun, menyusup ke balik bra Lily, meremas langsung daging bulat susunya.
�Mmmmmmhh.. Aaaaahh.. Pelan, Nan..� desah Lily.
Desah lirih Lily membuatku semakin bersemangat menjamahnya di sana. Sebelah tanganku menyusup ke balik punggungnya, melepas kait bra-nya dengan dua jari.
Lily menggerakkan badan, membantuku melepaskan belitan bra dari tubuhnya. Kini kedua gunung kembar itu terbebas sepenuhnya.
Ciumanku perlahan turun dari bibir ke lehernya, kedua tanganku turun meremas-remas payudaranya, sejauh yang sanggup ditangkup telapak tanganku.
Tangan Lily berpindah dari leher ke rambutku, perlahan menarik turun kepalaku, mengarahkan hidung dan bibirku ke buah dadanya.
Dengan cepat kulahap kuncup susunya, kuhisap dengan keras, berganti-ganti sebelah menyebelah.
�Aaaaaahhh.. Mmmmmmmmhh..� Lily mendesah, menggigit bibirnya rapat-rapat.
Puting susu Lily berwarna seperti kulit bibir. Peralihan warna dari merah muda menuju cokelat terang. Setelah ereksi, putingnya berbentuk bulat pepat dan mungil, kontras dengan bulatan gunungnya yang besar membusung.
Lily terlihat begitu menikmati hisapan dan remasanku di payudaranya. Kakinya bergerak gelisah, mengentak-entak. Pinggulnya sesekali diangkat, mendorong tubuhku yang sedang menindihnya rapat. Rintihannya semakin lama semakin keras dan panjang. Menyadari itu, kucumbui payudaranya lebih liar, kuhisap lebih dalam, kuselingi dengan gigitan-gigitan ringan.
�Oooouuuhhhh.. Mmmmmmmhhh.. Nantaaa.. Ooouuhhh.�
Rintihannya semakin dalam, semakin lantang.
�Nantaa.. Ooouuhhh.. Iyahhh, Nantaaa.. Mmmmmhhh..�
Gradasi nada ini terasa akrab, membuatku semakin bersemangat menciumi dan menggigiti, mengulum dan menghisap, sambil meremas kedua belah payudara Lily.
�Nant, Ouuhhhh.. Nantaaaaaa..hhhhhhh...�
Jeritan diikuti desahan panjang Lily menyadarkanku, dia mencapai orgasme.
Untuk pertama kali, kutambahkan dalam catatan pelajaranku, bahwa seorang wanita bisa mencapai orgasme hanya dengan cumbuan di dadanya..
Ketika hendak kulanjutkan ke langkah berikutnya, suara adzan magrib mengejutkanku�
***
Aku kembali duduk di ruang tamu rumah Lily. Lily setengah berbaring di sampingku. Kami duduk di kursi panjang, Lily sepenuhnya bersandar di tubuhku. Kami berpelukan, kembali dalam pakaian lengkap, kecuali kali ini aku mengenakan kaos kuning milik Lily.
�That was close, hihi..� kataku nyegir.
�Huuu.. tadi itu kelewatan. Kamu terlalu jauh..� Lily mencubit lenganku yang melingkar di dadanya, lalu mengecupnya, di titik yang baru saja dicubitnya.
�KITA terlalu jauh, bukan hanya aku, kan.. hehe..�
Lily sekarang mengigit lenganku. Aku meringis, lalu menunduk mengecup jidatnya.
�Tuh, lagi-lagi kopimu ga diminum, jadi dingin lagi..�
�Lha habis, yang dibikin kopi, tapi yang dikasih malah susu.. makanya tad..�
Plak! Tangan Lily melayang menamparku pelan, lalu mencubit, lalu mengelus. Tubuhnya menggeliat, kueratkan pelukanku di tubuhnya. Aku tertawa, lalu kami terdiam beberapa saat.
�Tapi ternyata aku salah..� kataku sejurus kemudian.
�Salah apa?�
�Tadi aku bilang suatu waktu, kamu bakal treak manggil-manggil namaku dalam tidurmu karena rindu. Aku salah di situ..�
�Kamu bukannya treak, tapi merintih, mendesah, dan bukan karena rindu, tapi karena dicumbu..�
Aku mencoba menciumnya lagi, tapi Lily bangkit, melemparku lagi dengan bantal.. Hihi..
Berlalu sepekan sejak insiden mimisan itu. Kejadian yang menegaskan bahwa aku dan Lily sudah merasa saling memiliki.
Aku tidak jadi melanjutkan malam bersama Lily pada saat itu, sebab teringat motorku yang masih kuparkir serampangan di tepi lapangan sepakbola. Dengan enggan saat itu kami melepas diri masing-masing.
Kedekatan kami yang memang sudah terjalin sebelumnya terasa semakin rapat. Kami selalu saling mencari di keramaian kegiatan, dan saling merindukan jika tidak bertemu.
Aku dan Lily saling terbuka. Tentang perasaan dan kesibukan, tentang stress dan kegemaran. Kami tidak pernah menutupi pada saat kami marah satu sama lain, hal yang membuat kami bisa membahasnya sampai tuntas dan tidak jadi ganjalan lagi. Semua orang melihat kami sebagai dua orang sahabat, tidak ada yang mengira bahwa kami saat ini sudah lebih dari itu.
Teman-teman kami di lembaga tidak melihat hubungan kami sebagai sesuatu yang istimewa, sebab - di depan mereka - aku tetap berlaku sebagaimana aku yang biasa, cagur yang kekanakan dan jauh dari sikap dewasa. Hal ini membuat mereka tidak bisa membayangkan bahwa aku sekarang adalah pria Lily, si cantik dewasa yang jadi idola di sana. Terlebih karena hampir semuanya tahu bahwa umur Lily dua tahun lebih tua.
Demikian juga yang kami lakonkan di lingkungan tempat tinggal dan pengajian. Masing-masing kami dikenal sebagai persona yang masih sendiri. Terlebih ketika teman-temanku sudah tahu semua, bahwa aku dan Husna tidak lagi bersama. Hal ini membuat Lily masih saja ada yang mendekati, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Hal yang demikian pun tidak kami tutupi satu sama lain.
Kami merasa - lebih tepatnya mengira - bahwa membahas semua hal yang terjadi adalah sehat dan bermanfaat. Tetapi ternyata justru ini yang kemudian menjadi cobaan yang tidak dapat ditanggung oleh hubungan kami...
***
Aku semakin sering berkunjung ke rumah Lily pada sore hari. Kami kemudian menghabiskan waktu bersama sampai larut malam, menonton dvd-sewaan sambil berpelukan, atau sekedar mengobrol di teras samping menghadap taman. Apapun itu, semua selalu berlanjut pada satu hal; percumbuan.
Lily selalu suka dicumbui kapan saja kami berduaan. Dia hanya memberi satu syarat; asalkan tidak ada orang lain yang melihat. Dia tidak pernah keberatan diganggu pada saat mencuci, memasak, menerima telepon atau bahkan jika sedang tidur. Lily akan langsung menyambut pelukan, sentuhan, ciuman dan remasanku dengan antusias, walaupun sedikit kaku. Tetapi Lily belum pernah mengijinkanku menyentuh daerahnya yang paling intim.
Setiap kali kucoba merabanya di sela paha, Lily akan menghindar dengan manis. Merapatkan kaki, menepis tangan, mencubit, atau bahkan berlari sambil tertawa. Dia belum ingin merasakan disentuh di sana, tetapi itu malah membuatku penasaran, semakin ingin mencobanya.
Berbeda dengan imajinya sehari-hari, Lily adalah gadis yang manja. Hal ini nampak jika kami sedang berdua saja. Jika aku sedang duduk di kursi panjang, Lily akan berbaring dengan berbantal pangkuan. Jika aku duduk di lantai, dia akan duduk bergelung di antara kedua kakiku, meringkuk di hangatnya pelukanku. Dia senang merajuk, dan jika begitu aku yang harus membujuk. Sikap kami satu sama lain saat sedang berdua saja, sangat bertolak belakang dengan apa yang kami tampilkan sehari-harinya.
***
Lily sedang menyiram tanaman di taman samping sore itu, ketika aku datang bertamu. Ayahnya � seperti biasa � sedang ke luar kota, mengurus usaha perkebunannya di utara. Lily mengenakan pakaian rumahannya, kaos belel dengan bawahan celana katun pendek setengah paha.
Taman samping ini tidak terlihat dari luar rumah. Dibuat di sepetak tanah kecil di beranda bagian dalam, berbatasan langsung dengan pagar tembok tetangga. Kita harus masuk ke ruang tamu, berbelok ke ruang keluarga/ ruang teve, kemudian keluar ke beranda samping, untuk dapat melihat taman ini.
Sambil menunggu Lily selesai dengan kegiatan sorenya, aku duduk di beranda mengamatinya. Kuamati rambutnya yang sebahu, digelung dan dijepit di belakang kepalanya, menampakkan tengkuk dan lehernya yang putih bersih. Keringat membasahi pelipis dan lehernya, menimbulkan noda air di kerah kaosnya. Sedikit turun, dadanya nampak membusung, seperti terbelenggu oleh kaos abu-abu yang membungkusnya. Lekukan dadanya bermuara ke perutnya yang rata, dibalas dengan lekukan lain di bagian belakang tubuhnya. Pinggul Lily mungkin satu-satunya bagian tubuhnya yang langsung sesuai dengan seleraku, membulat kencang tetapi tidak melebar. Kutelan ludahku saat memandangi bulatan itu.
�Hey, apaan sih?� seruku saat Lily mengarahkan selangnya menciprati wajahku.
�Habis kamu ngliatin begitu, dasar otak ngeres..�
�Haha.. ngliatin apa salahnya.. kayak ga suka aja..�
�Serem, tauk..� Lily membereskan selang, mematikan keran, lalu berjalan ke arahku.
Aku duduk di kursi malas kepunyaan Pak Umar, ayah Lily. Kursi berbahan beludru berwarna merah dengan isian empuk yang membuat badanku bersandar terpuruk. Lily melewatiku ke arah dapur, lalu muncul kembali dan duduk menyamping di pangkuanku. Kepalanya direbahkan, bersandar di bahuku. Kakinya disampirkan di lengan kursi.
�Ih, mepet-mepet, keringatan gini juga..� kataku seolah keberatan.
�Biarin, weee..� katanya manja, memeluk leherku.
�Aku ada dvd baru tuh, nonton yo�..� ajakku.
Kami berdua senang menonton film. Walaupun genre film yang kami sukai berbeda, kami tetap menonton bersama, terkadang berdiskusi setelahnya.
�Ada film apa, memangnya?�
�Final Destination 5, trus ada lagi tuh, filmnya Gerard Butler, tapi lupa judulnya,�
�Ok, yuk..� jawab Lily. Tetapi tidak beranjak dari pangkuanku, bahkan tidak mengangkat wajah dari bahu dan leherku.
�Woi, �yuk� kok nda bergerak?� kucolek pinggangnya. Lily menggeliat.
�Nnngggg.. gendongin..� dia bermanja, mengeratkan gelayutnya di leherku.
�Ogah ah, berat..� kataku.
�Ih, fisik ih, kamu.. gigit nih..� Lily menggigit leherku, ringan, lalu mengecupnya berulang-ulang, seperti tidak tega. Dia tidak sadar, kecupannya di situ bisa membangkitkan sesuatu.
Kami tidak jadi beranjak ke dalam. Kubiarkan Lily sibuk dengan leher dan pipiku, yang diciuminya berganti-ganti, dengan telapak tangannya mengelus pipiku dan ibu jarinya di daguku. Kuturunkan tanganku ke pahanya, mengelus jenjang kaki atasnya itu dengan lembut. Kain celananya yang longgar tersingkap karena posisi duduknya, semakin menampakkan kulitnya yang putih.
Dengan telapak tangan, ditariknya wajahku menghadapnya, lalu bibirku dikecupnya. Ciuman kami selalu dimulai dengan pertemuan lidah di sela bibir, panas dan basah. Kepalanya sedikit dimiringkan, bibir kami menyatu dengan rapat, saling melumat, menggelitik, menyenangkan.
Tanganku menyusuri garis pahanya sebelah luar, mengelus setengah meremas. Kugerakkan perlahan, jemariku menemukan ujung pipa celananya, menyusup ke celahnya, lalu dengan lembut menangkup bulatan empuk buah pantatnya.
Ciuman kami semakin panas. Lily memeluk leherku erat, menarik wajahku mendekat, seolah ingin menyatukan diri. Tubuhnya menggeliat, seiring penyatuan oral kami, dan gerak tanganku yang meremas pantatnya dengan lembut.
�Mmmmmmmmhh.. Mmmmhh..�
Ketika ciuman membuat gadismu mendesah lirih, kau sudah membawanya menapaki anak terbawah tangga birahi.
Geliat tubuh Lily membuat posisi duduknya bergerak menggeser kejantananku. Sentuhan empuk pinggul Lily yang duduk tepat di atasnya membuatnya perlahan-lahan mengeras. Kupindahkan tanganku ke pinggangnya yang ramping, menyusup ke balik kaos, bergerak mantap menuju gundukan bulat besar payudaranya. Bulatan besar yang nampak sesak, mendesak seperti hendak meledak.
�Harusnya kamu jangan pakai bra..� bisikku di sela ciuman.
�Mmmmmhhh.. mana aku tahu kamu mau datang.. Mmmmmhh.. Mmmmmmhhh..� jawabnya terus lena dalam cumbuannya.
Tanganku berputar ke punggungnya, meninggalkan sejenak sepasang bola kelenjar di dada Lily, melepas kait bra, lalu menyusup ke depan kembali.
Suhu sekalian, gravitasi adalah musuh dari buah dada yang besar alami. Bobot massa payudara tanpa implan, akan selalu menariknya ke bawah, membuatnya tidak membusung seperti milik para bintang film semi. Tidak terkecuali payudara Lily.
Tanpa bra yang memegang, buah dada Lily yang besar tidak lagi mengacung tegang. Posisinya sedikit menggantung, tetapi tidak � atau belum? � ngondoy. Maka demi tubuh indah pasangan, suhu sekalian, perlakukanlah dengan lembut. Keindahan tubuh pasangan juga bergantung pada cara pria memperlakukannya. Jangan hanya mau nikmatnya, haha..
Lily menengadah menikmati saat jari-jariku mulai mempermainkan puting susunya di balik baju. Tanganku yang satu lagi tidak mau ketinggalan, kususupkan mengikuti, meremas sebelah payudaranya yang lain. Ciumanku beralih ke lehernya yang terbuka. Beberapa helai rambut Lily terurai di tengkuknya, melekat oleh peluhnya.
�Aaaaaahhhh.. Nanta.. dibuka aja.. Mmmmhhhh..� Lily meminta.
Lily menegakkan tubuh, memberiku kesempatan menyingkap kaos dan branya ke atas. Aku bukan pria yang sabar menunggu. Tidak suka dengan prosesi buka pakaian satu-satu. Maka kutarik Lily berdiri, susunya berguncang saat tubuhnya bergerak, kuikuti dengan berjongkok di depannya, menarik lepas celana kainnya, dalam satu gerakan, bersama celana dalamnya.
Tubuh Lily terbuka sepenuhnya, polos di hadapanku. Refleks, Lily mundur dan duduk di kursi yang kutinggalkan tadi, tangannya menangkup di selangkangan, menutup areanya yang paling pribadi.
Setengah membungkuk, kuserang kembali bibirnya. Kulumat perlahan, sambil melepas kaosku sendiri. Bertelanjang dada, kutarik kedua lengannya agar melingkar di leherku, kembali menekuni bibir masing-masing dalam ciuman, berpelukan.
Sinar matahari senja menerobos dari celah sempit di antara atap beranda dengan pagar tetangga. Terus melarik, menyinari kulit Lily yang berkeringat, memberi aksen jingga.
Sambil terus membungkuk mencium bibirnya � aku masih bertelanjang dada � kucondongkan tubuh, membuat Lily rebah bersandar. Kedua lengannya masih melingkar di leherku. Perlahan, tanpa melihat, kuarahkan tanganku ke bawah, meraba celah lembab di selangkangannya.
�Mmmmmmhh.. Aaaaaahh.. Aaahhh.. Nantaaa..� Lily sejenak melepaskan pagutannya di bibirku. Kakinya dirapatkan, seolah enggan diraba di sana.
Kutarik sejenak tanganku, kuturunkan badanku berjongkok di depannya, kupindahkan ciuman ke puting susunya. Lily kian erat memelukku, merintih kenikmatan, saat aku mulai menyusu di kedua belah payudaranya.
�Aaaaaahhhhh.. Pelan, Nanta.. Ahhhh..�
Tanganku kembali beraksi. Kali ini kutarik kedua lututnya membuka, kuangkat dan kusampirkan di sandaran lengan kursi. Posisi ini membuat badan Lily terpuruk ke belakang, tubuhnya rebah setengah berbaring. Kedua lengannya masih melingkar di leherku, memelukku yang tengah mencumbu puting susunya.
Kedua kakinya yang terentang membuka membuat kemaluannya menjadi tidak tertutup lagi. Dalam posisi seperti ini, Lily tidak bisa menghindar lagi.
Perlahan, tanpa membuat gerakan yang tiba-tiba, kuturunkan ciumanku, inci demi inci. Dari dadanya, menyusuri perutnya yang rata. Berbelok ke samping di pangkal pahanya, lalu mendadak ke tengah, tepat di tengah vaginanya..
�Uugghhhh.. Nantaaa.. Jangann.. Uuuugggghhh..� Lily tersentak, saat bibirku melumat bibir vaginanya.
Jarinya berusaha menarik wajahku menjauh dari sana. Tetapi posisi duduknya yang setengah rebah, dengan kaki mengangkang dan tersampir di sandaran kursi membuatnya tidak punya tempat bertumpu. Lily hanya bisa menjerit, saat lidahku mulai menjelajahi organ kewanitaannya.
�Ooooouuuggghhh.. Nant, Aaaahhhh.. Nantaaaa.. Jangan.. Aaaaaahhh..�
Jerit kecilnya membuatku semakin bersemangat. Vagina Lily berbeda, cairan pelumasnya sangat bening, tanpa warna. Tidak tercium aroma khas yang dulu kudapati pada Husna. Vagina Lily tidak berbau, bahkan samar-samar dapat kucium aroma wangi. Belakangan kutahu, itu aroma sabun manjakani.
Kutekuni belahan labia Lily dengan lidah. Bibir vagina Lily yang terbelah vertikal, membuat ilusi bibir wanita yang berbaring menyamping. Kumiringkan wajahku, kukecup dan kulumat seperti sedang berciuman.
�Aaaaaaaahhhh.. Nanta.. Sudahhhh.. Aaaaahhh..�
Kurasakan kekuatan penolakan di tangan Lily sudah hilang. Bahkan kedua tangannya kini bergerak mengusap pelipisku, walaupun bibirnya masih berkata jangan.
�Uuugghhhh.. Nanta..�
Kubenamkan wajahku dalam-dalam di belahan itu, menggodanya dengan menggeserkan hidungku. Lily semakin mendesah. Suaranya serak. Pinggulnya tanpa sadar bergerak menyambut sapuan lidahku di bawah sana.
�Mmmmmmmmhhhh.. Aaaaaaahhh.. Nantaaaaa.. Sudah, sayang..�
Lily memanggilku �sayang�, sebuah kemajuan baru. Kugerakkan wajahku sedikit ke atas, kutemukan tonjolan yang mencuat jelas. Klitoris Lily juga berbeda, saat ereksi, posisinya lebih kentara.
Kucucup tonjolan itu, dan efeknya mengejutkanku.
�Aaaaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaa.. Di situ.. Jangan.. Aaaaahh..�
Apakah maksud Lily, �jangan di situ� atau justru �di situ, jangan berhenti?�. Akh, persetan, kuteruskan..
Aku menggoda Lily habis-habisan. Kumainkan klitorisnya dengan bibir dan lidah bergantian. Sesekali kugigit perlahan.
Tanganku kuulurkan ke atas, menemukan wajahnya, mengelus pipinya. Sebelah tanganku bergerak, meremas payudaranya dengan keras, seperti pemanjat tebing yang mencari pegangan.
Lily menoleh ke arah tanganku di pipinya, bibirnya menemukan ibu jariku, mengecup lalu mulai mengulumnya. Naluri wanita. Kulumannya berganti gigitan, pelan, lalu berubah keras, saat tubuhnya mengejang. Pinggulnya terangkat tinggi, mendorong wajahku yang masih menempel di sana..
�Aaaaaaaaahhhhh.. Aaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaaaaaaa..�
Lily merintih panjang, saat orgasme membawa kesadarannya melayang..
***
Lily masih terbaring di posisinya, setengah badan tersampir di kursi, mengatur napas terengah. Aku bersimpuh di kaki kursi, membaringkan pipiku di sebelah pahanya yang kini terjulur ke depan menyentuh lantai. Sebelah kakinya yang lain masih tersangkut di sandaran lengan.
Perlahan Lily mengangkat tubuh, menurunkan kaki lalu duduk tegak. Diraihnya bajunya, dikenakannya langsung tanpa beha. Rambutnya yang terurai lepas digelungnya kembali.
Aku mengangkat wajah dari pahanya, lalu,
Plak! aku ditamparnya lagi, dengan pelan. Seperti biasa, tangannya tetap di pipiku, berubah menjadi elusan.
�Kamu tuh..� katanya memulai. Dipasangnya lagi ekspresinya yang galak.
�Apa?� tanyaku tersenyum.
Lily tidak jadi meneruskannya, dia hanya melengos, tidak bisa menahan senyum.
Aku berdiri, hendak melangkah ke dalam, saat tanganku ditariknya.
�Kamu gendong aku ke kamar, kakiku lemas nih, gara-gara kamu..�
�Baik, kakak..�
Plak! sebuah tamparan-elusan lagi, saat aku menunduk menggendongnya.
Kubopong tubuhnya ke Kamar. Kuletakkan lembut di ranjangnya. Lily langsung bergelung dalam selimut. Mungkin dia lelah, pikirku. Jadi kutinggalkan dia di kamarnya.
Aku kembali ke beranda, kutemukan bajuku di lantai. Kukenakan lalu berkeliling menyalakan lampu dan menutup pintu. Gelap mulai turun mengganti cahaya.
Aku kembali ke ruang tengah, berbaring di sofa. Kakiku agak kesemutan karena lama berjongkok tadi.
Ponselku berdering, pesan dari Lily;
Lily : Kamu di mana? Gih, cuci muka dulu!
Nant : Di sofa depan, iya iya..
Aku melangkah ke toilet luar. Setelah membersihkan muka, kuraih ponsel, sebuah pesan baru lagi. Kenapa tidak treak saja sih, dari dalam, pikirku.
Lily : Kamu nginap saja. Jagain aku..
Nant : iyaaa..
Beberapa menit kemudian,
Lily : mau jagain ga?
Nant : iya, ini kan lagi jagain..
Lily : jagain itu di sini, bukan di luar situ..
Aduhai, dewa kentang.. Aku benar-benar memujamu..
Aku tidak jadi melanjutkan malam bersama Lily pada saat itu, sebab teringat motorku yang masih kuparkir serampangan di tepi lapangan sepakbola. Dengan enggan saat itu kami melepas diri masing-masing.
Kedekatan kami yang memang sudah terjalin sebelumnya terasa semakin rapat. Kami selalu saling mencari di keramaian kegiatan, dan saling merindukan jika tidak bertemu.
Aku dan Lily saling terbuka. Tentang perasaan dan kesibukan, tentang stress dan kegemaran. Kami tidak pernah menutupi pada saat kami marah satu sama lain, hal yang membuat kami bisa membahasnya sampai tuntas dan tidak jadi ganjalan lagi. Semua orang melihat kami sebagai dua orang sahabat, tidak ada yang mengira bahwa kami saat ini sudah lebih dari itu.
Teman-teman kami di lembaga tidak melihat hubungan kami sebagai sesuatu yang istimewa, sebab - di depan mereka - aku tetap berlaku sebagaimana aku yang biasa, cagur yang kekanakan dan jauh dari sikap dewasa. Hal ini membuat mereka tidak bisa membayangkan bahwa aku sekarang adalah pria Lily, si cantik dewasa yang jadi idola di sana. Terlebih karena hampir semuanya tahu bahwa umur Lily dua tahun lebih tua.
Demikian juga yang kami lakonkan di lingkungan tempat tinggal dan pengajian. Masing-masing kami dikenal sebagai persona yang masih sendiri. Terlebih ketika teman-temanku sudah tahu semua, bahwa aku dan Husna tidak lagi bersama. Hal ini membuat Lily masih saja ada yang mendekati, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Hal yang demikian pun tidak kami tutupi satu sama lain.
Kami merasa - lebih tepatnya mengira - bahwa membahas semua hal yang terjadi adalah sehat dan bermanfaat. Tetapi ternyata justru ini yang kemudian menjadi cobaan yang tidak dapat ditanggung oleh hubungan kami...
***
Aku semakin sering berkunjung ke rumah Lily pada sore hari. Kami kemudian menghabiskan waktu bersama sampai larut malam, menonton dvd-sewaan sambil berpelukan, atau sekedar mengobrol di teras samping menghadap taman. Apapun itu, semua selalu berlanjut pada satu hal; percumbuan.
Lily selalu suka dicumbui kapan saja kami berduaan. Dia hanya memberi satu syarat; asalkan tidak ada orang lain yang melihat. Dia tidak pernah keberatan diganggu pada saat mencuci, memasak, menerima telepon atau bahkan jika sedang tidur. Lily akan langsung menyambut pelukan, sentuhan, ciuman dan remasanku dengan antusias, walaupun sedikit kaku. Tetapi Lily belum pernah mengijinkanku menyentuh daerahnya yang paling intim.
Setiap kali kucoba merabanya di sela paha, Lily akan menghindar dengan manis. Merapatkan kaki, menepis tangan, mencubit, atau bahkan berlari sambil tertawa. Dia belum ingin merasakan disentuh di sana, tetapi itu malah membuatku penasaran, semakin ingin mencobanya.
Berbeda dengan imajinya sehari-hari, Lily adalah gadis yang manja. Hal ini nampak jika kami sedang berdua saja. Jika aku sedang duduk di kursi panjang, Lily akan berbaring dengan berbantal pangkuan. Jika aku duduk di lantai, dia akan duduk bergelung di antara kedua kakiku, meringkuk di hangatnya pelukanku. Dia senang merajuk, dan jika begitu aku yang harus membujuk. Sikap kami satu sama lain saat sedang berdua saja, sangat bertolak belakang dengan apa yang kami tampilkan sehari-harinya.
***
Lily sedang menyiram tanaman di taman samping sore itu, ketika aku datang bertamu. Ayahnya � seperti biasa � sedang ke luar kota, mengurus usaha perkebunannya di utara. Lily mengenakan pakaian rumahannya, kaos belel dengan bawahan celana katun pendek setengah paha.
Taman samping ini tidak terlihat dari luar rumah. Dibuat di sepetak tanah kecil di beranda bagian dalam, berbatasan langsung dengan pagar tembok tetangga. Kita harus masuk ke ruang tamu, berbelok ke ruang keluarga/ ruang teve, kemudian keluar ke beranda samping, untuk dapat melihat taman ini.
Sambil menunggu Lily selesai dengan kegiatan sorenya, aku duduk di beranda mengamatinya. Kuamati rambutnya yang sebahu, digelung dan dijepit di belakang kepalanya, menampakkan tengkuk dan lehernya yang putih bersih. Keringat membasahi pelipis dan lehernya, menimbulkan noda air di kerah kaosnya. Sedikit turun, dadanya nampak membusung, seperti terbelenggu oleh kaos abu-abu yang membungkusnya. Lekukan dadanya bermuara ke perutnya yang rata, dibalas dengan lekukan lain di bagian belakang tubuhnya. Pinggul Lily mungkin satu-satunya bagian tubuhnya yang langsung sesuai dengan seleraku, membulat kencang tetapi tidak melebar. Kutelan ludahku saat memandangi bulatan itu.
�Hey, apaan sih?� seruku saat Lily mengarahkan selangnya menciprati wajahku.
�Habis kamu ngliatin begitu, dasar otak ngeres..�
�Haha.. ngliatin apa salahnya.. kayak ga suka aja..�
�Serem, tauk..� Lily membereskan selang, mematikan keran, lalu berjalan ke arahku.
Aku duduk di kursi malas kepunyaan Pak Umar, ayah Lily. Kursi berbahan beludru berwarna merah dengan isian empuk yang membuat badanku bersandar terpuruk. Lily melewatiku ke arah dapur, lalu muncul kembali dan duduk menyamping di pangkuanku. Kepalanya direbahkan, bersandar di bahuku. Kakinya disampirkan di lengan kursi.
�Ih, mepet-mepet, keringatan gini juga..� kataku seolah keberatan.
�Biarin, weee..� katanya manja, memeluk leherku.
�Aku ada dvd baru tuh, nonton yo�..� ajakku.
Kami berdua senang menonton film. Walaupun genre film yang kami sukai berbeda, kami tetap menonton bersama, terkadang berdiskusi setelahnya.
�Ada film apa, memangnya?�
�Final Destination 5, trus ada lagi tuh, filmnya Gerard Butler, tapi lupa judulnya,�
�Ok, yuk..� jawab Lily. Tetapi tidak beranjak dari pangkuanku, bahkan tidak mengangkat wajah dari bahu dan leherku.
�Woi, �yuk� kok nda bergerak?� kucolek pinggangnya. Lily menggeliat.
�Nnngggg.. gendongin..� dia bermanja, mengeratkan gelayutnya di leherku.
�Ogah ah, berat..� kataku.
�Ih, fisik ih, kamu.. gigit nih..� Lily menggigit leherku, ringan, lalu mengecupnya berulang-ulang, seperti tidak tega. Dia tidak sadar, kecupannya di situ bisa membangkitkan sesuatu.
Kami tidak jadi beranjak ke dalam. Kubiarkan Lily sibuk dengan leher dan pipiku, yang diciuminya berganti-ganti, dengan telapak tangannya mengelus pipiku dan ibu jarinya di daguku. Kuturunkan tanganku ke pahanya, mengelus jenjang kaki atasnya itu dengan lembut. Kain celananya yang longgar tersingkap karena posisi duduknya, semakin menampakkan kulitnya yang putih.
Dengan telapak tangan, ditariknya wajahku menghadapnya, lalu bibirku dikecupnya. Ciuman kami selalu dimulai dengan pertemuan lidah di sela bibir, panas dan basah. Kepalanya sedikit dimiringkan, bibir kami menyatu dengan rapat, saling melumat, menggelitik, menyenangkan.
Tanganku menyusuri garis pahanya sebelah luar, mengelus setengah meremas. Kugerakkan perlahan, jemariku menemukan ujung pipa celananya, menyusup ke celahnya, lalu dengan lembut menangkup bulatan empuk buah pantatnya.
Ciuman kami semakin panas. Lily memeluk leherku erat, menarik wajahku mendekat, seolah ingin menyatukan diri. Tubuhnya menggeliat, seiring penyatuan oral kami, dan gerak tanganku yang meremas pantatnya dengan lembut.
�Mmmmmmmmhh.. Mmmmhh..�
Ketika ciuman membuat gadismu mendesah lirih, kau sudah membawanya menapaki anak terbawah tangga birahi.
Geliat tubuh Lily membuat posisi duduknya bergerak menggeser kejantananku. Sentuhan empuk pinggul Lily yang duduk tepat di atasnya membuatnya perlahan-lahan mengeras. Kupindahkan tanganku ke pinggangnya yang ramping, menyusup ke balik kaos, bergerak mantap menuju gundukan bulat besar payudaranya. Bulatan besar yang nampak sesak, mendesak seperti hendak meledak.
�Harusnya kamu jangan pakai bra..� bisikku di sela ciuman.
�Mmmmmhhh.. mana aku tahu kamu mau datang.. Mmmmmhh.. Mmmmmmhhh..� jawabnya terus lena dalam cumbuannya.
Tanganku berputar ke punggungnya, meninggalkan sejenak sepasang bola kelenjar di dada Lily, melepas kait bra, lalu menyusup ke depan kembali.
Suhu sekalian, gravitasi adalah musuh dari buah dada yang besar alami. Bobot massa payudara tanpa implan, akan selalu menariknya ke bawah, membuatnya tidak membusung seperti milik para bintang film semi. Tidak terkecuali payudara Lily.
Tanpa bra yang memegang, buah dada Lily yang besar tidak lagi mengacung tegang. Posisinya sedikit menggantung, tetapi tidak � atau belum? � ngondoy. Maka demi tubuh indah pasangan, suhu sekalian, perlakukanlah dengan lembut. Keindahan tubuh pasangan juga bergantung pada cara pria memperlakukannya. Jangan hanya mau nikmatnya, haha..
Lily menengadah menikmati saat jari-jariku mulai mempermainkan puting susunya di balik baju. Tanganku yang satu lagi tidak mau ketinggalan, kususupkan mengikuti, meremas sebelah payudaranya yang lain. Ciumanku beralih ke lehernya yang terbuka. Beberapa helai rambut Lily terurai di tengkuknya, melekat oleh peluhnya.
�Aaaaaahhhh.. Nanta.. dibuka aja.. Mmmmhhhh..� Lily meminta.
Lily menegakkan tubuh, memberiku kesempatan menyingkap kaos dan branya ke atas. Aku bukan pria yang sabar menunggu. Tidak suka dengan prosesi buka pakaian satu-satu. Maka kutarik Lily berdiri, susunya berguncang saat tubuhnya bergerak, kuikuti dengan berjongkok di depannya, menarik lepas celana kainnya, dalam satu gerakan, bersama celana dalamnya.
Tubuh Lily terbuka sepenuhnya, polos di hadapanku. Refleks, Lily mundur dan duduk di kursi yang kutinggalkan tadi, tangannya menangkup di selangkangan, menutup areanya yang paling pribadi.
Setengah membungkuk, kuserang kembali bibirnya. Kulumat perlahan, sambil melepas kaosku sendiri. Bertelanjang dada, kutarik kedua lengannya agar melingkar di leherku, kembali menekuni bibir masing-masing dalam ciuman, berpelukan.
Sinar matahari senja menerobos dari celah sempit di antara atap beranda dengan pagar tetangga. Terus melarik, menyinari kulit Lily yang berkeringat, memberi aksen jingga.
Sambil terus membungkuk mencium bibirnya � aku masih bertelanjang dada � kucondongkan tubuh, membuat Lily rebah bersandar. Kedua lengannya masih melingkar di leherku. Perlahan, tanpa melihat, kuarahkan tanganku ke bawah, meraba celah lembab di selangkangannya.
�Mmmmmmhh.. Aaaaaahh.. Aaahhh.. Nantaaa..� Lily sejenak melepaskan pagutannya di bibirku. Kakinya dirapatkan, seolah enggan diraba di sana.
Kutarik sejenak tanganku, kuturunkan badanku berjongkok di depannya, kupindahkan ciuman ke puting susunya. Lily kian erat memelukku, merintih kenikmatan, saat aku mulai menyusu di kedua belah payudaranya.
�Aaaaaahhhhh.. Pelan, Nanta.. Ahhhh..�
Tanganku kembali beraksi. Kali ini kutarik kedua lututnya membuka, kuangkat dan kusampirkan di sandaran lengan kursi. Posisi ini membuat badan Lily terpuruk ke belakang, tubuhnya rebah setengah berbaring. Kedua lengannya masih melingkar di leherku, memelukku yang tengah mencumbu puting susunya.
Kedua kakinya yang terentang membuka membuat kemaluannya menjadi tidak tertutup lagi. Dalam posisi seperti ini, Lily tidak bisa menghindar lagi.
Perlahan, tanpa membuat gerakan yang tiba-tiba, kuturunkan ciumanku, inci demi inci. Dari dadanya, menyusuri perutnya yang rata. Berbelok ke samping di pangkal pahanya, lalu mendadak ke tengah, tepat di tengah vaginanya..
�Uugghhhh.. Nantaaa.. Jangann.. Uuuugggghhh..� Lily tersentak, saat bibirku melumat bibir vaginanya.
Jarinya berusaha menarik wajahku menjauh dari sana. Tetapi posisi duduknya yang setengah rebah, dengan kaki mengangkang dan tersampir di sandaran kursi membuatnya tidak punya tempat bertumpu. Lily hanya bisa menjerit, saat lidahku mulai menjelajahi organ kewanitaannya.
�Ooooouuuggghhh.. Nant, Aaaahhhh.. Nantaaaa.. Jangan.. Aaaaaahhh..�
Jerit kecilnya membuatku semakin bersemangat. Vagina Lily berbeda, cairan pelumasnya sangat bening, tanpa warna. Tidak tercium aroma khas yang dulu kudapati pada Husna. Vagina Lily tidak berbau, bahkan samar-samar dapat kucium aroma wangi. Belakangan kutahu, itu aroma sabun manjakani.
Kutekuni belahan labia Lily dengan lidah. Bibir vagina Lily yang terbelah vertikal, membuat ilusi bibir wanita yang berbaring menyamping. Kumiringkan wajahku, kukecup dan kulumat seperti sedang berciuman.
�Aaaaaaaahhhh.. Nanta.. Sudahhhh.. Aaaaahhh..�
Kurasakan kekuatan penolakan di tangan Lily sudah hilang. Bahkan kedua tangannya kini bergerak mengusap pelipisku, walaupun bibirnya masih berkata jangan.
�Uuugghhhh.. Nanta..�
Kubenamkan wajahku dalam-dalam di belahan itu, menggodanya dengan menggeserkan hidungku. Lily semakin mendesah. Suaranya serak. Pinggulnya tanpa sadar bergerak menyambut sapuan lidahku di bawah sana.
�Mmmmmmmmhhhh.. Aaaaaaahhh.. Nantaaaaa.. Sudah, sayang..�
Lily memanggilku �sayang�, sebuah kemajuan baru. Kugerakkan wajahku sedikit ke atas, kutemukan tonjolan yang mencuat jelas. Klitoris Lily juga berbeda, saat ereksi, posisinya lebih kentara.
Kucucup tonjolan itu, dan efeknya mengejutkanku.
�Aaaaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaa.. Di situ.. Jangan.. Aaaaahh..�
Apakah maksud Lily, �jangan di situ� atau justru �di situ, jangan berhenti?�. Akh, persetan, kuteruskan..
Aku menggoda Lily habis-habisan. Kumainkan klitorisnya dengan bibir dan lidah bergantian. Sesekali kugigit perlahan.
Tanganku kuulurkan ke atas, menemukan wajahnya, mengelus pipinya. Sebelah tanganku bergerak, meremas payudaranya dengan keras, seperti pemanjat tebing yang mencari pegangan.
Lily menoleh ke arah tanganku di pipinya, bibirnya menemukan ibu jariku, mengecup lalu mulai mengulumnya. Naluri wanita. Kulumannya berganti gigitan, pelan, lalu berubah keras, saat tubuhnya mengejang. Pinggulnya terangkat tinggi, mendorong wajahku yang masih menempel di sana..
�Aaaaaaaaahhhhh.. Aaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaaaaaaa..�
Lily merintih panjang, saat orgasme membawa kesadarannya melayang..
***
Lily masih terbaring di posisinya, setengah badan tersampir di kursi, mengatur napas terengah. Aku bersimpuh di kaki kursi, membaringkan pipiku di sebelah pahanya yang kini terjulur ke depan menyentuh lantai. Sebelah kakinya yang lain masih tersangkut di sandaran lengan.
Perlahan Lily mengangkat tubuh, menurunkan kaki lalu duduk tegak. Diraihnya bajunya, dikenakannya langsung tanpa beha. Rambutnya yang terurai lepas digelungnya kembali.
Aku mengangkat wajah dari pahanya, lalu,
Plak! aku ditamparnya lagi, dengan pelan. Seperti biasa, tangannya tetap di pipiku, berubah menjadi elusan.
�Kamu tuh..� katanya memulai. Dipasangnya lagi ekspresinya yang galak.
�Apa?� tanyaku tersenyum.
Lily tidak jadi meneruskannya, dia hanya melengos, tidak bisa menahan senyum.
Aku berdiri, hendak melangkah ke dalam, saat tanganku ditariknya.
�Kamu gendong aku ke kamar, kakiku lemas nih, gara-gara kamu..�
�Baik, kakak..�
Plak! sebuah tamparan-elusan lagi, saat aku menunduk menggendongnya.
Kubopong tubuhnya ke Kamar. Kuletakkan lembut di ranjangnya. Lily langsung bergelung dalam selimut. Mungkin dia lelah, pikirku. Jadi kutinggalkan dia di kamarnya.
Aku kembali ke beranda, kutemukan bajuku di lantai. Kukenakan lalu berkeliling menyalakan lampu dan menutup pintu. Gelap mulai turun mengganti cahaya.
Aku kembali ke ruang tengah, berbaring di sofa. Kakiku agak kesemutan karena lama berjongkok tadi.
Ponselku berdering, pesan dari Lily;
Lily : Kamu di mana? Gih, cuci muka dulu!
Nant : Di sofa depan, iya iya..
Aku melangkah ke toilet luar. Setelah membersihkan muka, kuraih ponsel, sebuah pesan baru lagi. Kenapa tidak treak saja sih, dari dalam, pikirku.
Lily : Kamu nginap saja. Jagain aku..
Nant : iyaaa..
Beberapa menit kemudian,
Lily : mau jagain ga?
Nant : iya, ini kan lagi jagain..
Lily : jagain itu di sini, bukan di luar situ..
Aduhai, dewa kentang.. Aku benar-benar memujamu..

0 comments :
Post a Comment