Husna dan Lily #8

Sunday, 2 October 2016

Husna dan Lily #8


Apa yang akan dilakukan pria kebanyakan, ketika diundang ke dalam kamar gadisnya, pada malam hari, saat sedang hanya berdua?

Romantisme di antara kami sedang diuji. Ujiannya datang berupa kesempatan dan sambutan. Berupa rasa kentang dan undangan.

“jagain itu di sini, bukan di luar situ..”


***

Aku tahu apa yang akan menyambutku jika aku merangsek masuk ke kamar Lily saat itu juga. Rangkaian hal-hal yang kusuka. Jika kutunda sedikit lagi, birahi kami yang masih tinggi dapat hilang dan perlu upaya untuk membangkitkannya kembali.

Lalu mengapa aku urung bergerak?

Alih-alih menjawab tantangan, kunyalakan teve di ruang keluarga. Kuraih bungkusan dvd sewaan yang kubawa sebelumnya. Kumasukkan sekenanya, lalu rebah di sofa. Sebuah film mulai dimainkan, tentang seorang suami yang meninggal karena sakit, tetapi sebelumnya sudah membuat beberapa pengaturan untuk kebahagiaan sang istri.

Film dengan genre ini sama sekali bukan seleraku. Sengaja kusewa, sebab kutahu Lily pasti suka. Sebuah film drama romantis yang masih termasuk dalam kategori recent released.

Menonton film ini – bagiku - begitu membosankan. Tidak ada hentakan dan ketegangan. Hal-hal yang terjadi di dalam kisahnya begitu biasa, begitu manusiawi, seperti kehidupan sehari-hari. Apa sih yang menarik dari genre ini? Pikirku.

Kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepalaku, “bagaimana jika kewajaran cerita dan kemiripan semesta pada film inilah yang menjadi daya tariknya?” Mungkin Lily, dan penggemar cerita drama lainnya, terpikat oleh kewajaran ini, sehingga saat menontonnya mudah terbawa empati.

Kuraih sampul film itu, terbaca, P.S. I Love You. Kulirik jam dinding, sudah hampir pukul delapan. Aku teringat pada Lily, kekasihku di dalam kamar. Perlahan aku bangkit, mematikan teve, lalu melangkah ke ambang pintu kamarnya.

Lily masih dalam posisinya seperti saat kutinggalkan sore tadi, meringkuk di tepi tempat tidurnya di dalam selimut. Gerak teratur napasnya menandakan dia sedang tidur, menyerah pada lelah tubuhnya saat menungguku.

Orgasme wanita memang berbeda dengan pria pada persebaran efeknya. Orgasme wanita dirasakan menyeluruh, dari ubun-ubun ke ujung kaki. Impulsnya menginduksi seluruh jaringan syaraf sensori. Sementara pada lelaki, orgasme bersifat lokal. Hanya mempengaruhi daerah genital. Jika berada di puncak tertinggi gairah, paling luas area orgasme pria hanyalah di sekitar tungkai bawah. Pendakian kenikmatan pada wanita melibatkan lebih banyak sistem organ ketimbang pria, ini yang membuat lelah orgasme mereka berlipat dan berganda.

Lampu di kamar Lily adalah jenis lampu dengan tombol putar pengatur intensitas cahaya. Kuputar hingga level nomor dua. Pendar cahaya lembut menggantikan terang, menerangi wajah dan lengan Lily yang tidak tertutup selimut, naik turun seiring napasnya yang lembut.

Aku berdiri sejenak di tepi tempat tidur, mengamati wajah Lily lekat-lekat. Garis wajah Lily begitu lembut. Melihatnya tanpa perlindungan seperti ini membuatku heran, betapa berbeda perangainya saat bergaul di luar sana.

Lily selalu nampak mandiri dan dewasa. Dia mengendarai kendaraan sendiri saat beraktivitas, menolak dibukakan pintu, menolak tawaran – sebenarnya permintaan – teman-teman prianya untuk mengantar pulang, dan sangat tidak mau ditraktir makan. Lily tidak punya sahabat dekat. Tidak ada geng cewek atau komunitas sorority. Dia dikenal dengan namanya sendiri. Bukan dikenal sebagai anaknya Bapak Anu, atau temannya si itu. Satu-satunya yang kini dikenal orang sebagai teman dekatnya adalah aku.

Tetapi hari-hari belakangan ini membuatku melihat Lily sebagai pribadi yang berbeda. Dia seperti membuka etalase diri yang dulunya begitu pribadi. Seperti mengubah museum tertutup menjadi galeri.

Lily berlaku manja padaku. Dia merajuk, memberi indikasi sanguine dan menuntut perlakuan mesra. Tembok angkuhnya seakan runtuh, menjadi pagar bebungaan yang rapuh.

Mataku tertuju pada tangannya. Ponselnya masih tergenggam di sana. Kuduga dia jatuh tertidur sesaat setelah mengirim pesan terakhir. Perlahan, kutarik ponsel itu dari genggamannya dan meletakkannya di meja. Lalu dengan hati-hati, aku menyusup ke dalam selimutnya, memeluknya dari belakang.

Lily merespon gerakanku dengan menggeliat membetulkan posisi. Dia sadar bahwa aku ada dan sedang memeluknya. Kini tubuh kami saling rapat, lengkungan tubuh kami seperti saling mengisi, seolah puzzle manusia yang bertemu padanannya.

“Nnnnggghh..” Lily menggeliat manja, kueratkan pelukanku di pinggangnya. Aroma wangi rambutnya membuai lembut. Harumnya sederhana seperti narestu, tidak berlebihan.

“Capek yah.. Memangnya habis ngapain, sih..” bisikku perlahan dari belakang.

Lily mencubit lenganku di pinggangnya, kutahu dia tersenyum, mulai terjaga, tetapi tetap memejamkan mata.

“Bapak pulangnya kapan?” lanjutku bertanya.

“Sebentar lagi, sepertinya. Mungkin tiga atau empat hari lagi.”

Kusadari Lily menyebut tiga atau empat hari sebagai satuan waktu yang “sebentar”.

“Kamu sejak kapan sering ditinggal sendiri?”

“Sejak SMP. Aku lupa persisnya. Bapak sudah pensiun cukup lama, kan..”

Kami terus berbincang dalam posisi berpelukan. Lily sudah terjaga sepenuhnya. Lily bercerita tentang awal masa perceraian orangtuanya. Bagaimana Bapaknya, sekalipun menuntut cerai, tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangan saat itu. Bagaimana kacaunya keuangan dan belanja rumah tangga mereka karena perceraian yang datang tiba-tiba.

Aku tidak menanyakan alasan kedua orangtuanya bercerai, hanya mendengarkan dalam diam. Lily menyinggung kekecewaannya pada kedua orangtuanya, yang menyerah pada konflik, mengambil jalan yang menurutnya hanya suatu bentuk pelarian yang tidak solutif.

Sudah kuceritakan sebelumnya, suhu sekalian, bahwa aku punya fetish terhadap wanita dengan ciri-ciri yang sangat berbeda dengan fisik Lily. Hal ini membuatku tidak pernah langsung bergairah begitu saja terhadapnya, jika tanpa stimulus seksual dan sambutan yang jelas.

Hal inilah yang membuat kami bertahan lama dalam obrolan malam ini. Kami benar-benar mengobrol, bukan sekedar berbicara. Kami berkomunikasi, bukan hanya mengaso dan memanfaatkan spasi.

Lily bercerita dengan lancar. Kusadari dia tidak menangis, hanya membeberkan fakta tanpa emosi, dan aku mendengarkannya tulus, tanpa tendensi. Suhu sekalian paham tendensi yang kumaksudkan? Tendensi pria yang sengaja berlagak mendengarkan, namun sebenarnya hanya menunggu sang gadis sampai pada suasana hati paling rapuh, lalu memanfaatkan kerapuhannya untuk mengambil yang diinginkannya? Haha..

Kubetulkan posisi berbaringku menjadi bersandar di kepala tempat tidur. Lily berbalik memelukku. Dia terus bercerita tentang masa kecilnya yang bahagia bersama keluarganya yang utuh. Ceritanya terus bergulir, terkadang melompat maju dengan jauh, lalu kembali mundur ke masa lalu. Lily bercerita tentang kesulitannya saat SMA, harus bangun pagi dan berangkat sendiri ke sekolah, lalu pulang cepat untuk berbenah di rumah. Hal yang terus menjadi rutinitasnya hingga kini.

Kami berbincang sampai dini hari, sampai saat kusadari keheningan di antara kami. Lily jatuh tertidur memelukku, kepalanya beralaskan lengan atasku, sedikit di atas ketiak.

Kusadari tubuh Lily hanya terbungkus selembar kaos belel dan tipis. Kubetulkan posisi selimut dengan sebelah tangan. Helai rambut yang jatuh ke wajahnya kussampirkan di balik telinga. Kukecup lembut keningnya, Lily mengeratkan pelukannya.

Terjelaskan bagiku semuanya tentang Lily. Tentang pribadinya yang mandiri. Tentang telatennya dia di rumah, dan kepeduliannya yang tinggi pada para tunawisma dan anak jalanan. Dia berempati, dan dalam peduli dia selalu ingin berbagi.

Malam itu aku langsung tahu, tak akan pernah kubiarkan dia sendiri lagi.

***

Lily membangunkanku dengan kecupan di dahi. Katanya butuh berkali-kali sampai aku benar-benar membuka mata. Lily sudah mandi, rambutnya tergerai basah, turun dan menyapu wajahku saat Lily menunduk di atasku. Mungkin sebenarnya itu yang membuatku terjaga.

Kami sarapan di beranda. Lily membuat teh, sedang aku menyeduh kopi. Dia masih mengenakan kaos yang semalam, kini dengan dalaman. Pahanya yang putih panjang terlihat sepenuhnya, dipamerkan padaku dengan sengaja.

“Kalian para pria kenapa gandrung sekali sama kopi? Pahit begitu..”

Ayah Lily adalah penyuka kopi kental.

“Tidak cuma pria, kok, wanita juga banyak yang suka.”

“Pahit, tauk, ga enak..” katanya.

“Kamu belum tahu saja. Cara menyajikan kopi enak ada banyak lho. Dengan vietnam drip, syphoon, bialetti, atau french press. Kalo tubruk begini rasanya memang biasa aja. Nih, coba dulu seduhanku, dikit saja,” ujarku, ngasal.

Lily mencondongkan tubuh ke arahku dari seberang meja, kusodorkan cangkirku.

“Bukan yang itu..” katanya tersenyum, menggoda.

Lily meraih kedua pipiku, menarikku ke wajahnya, memberi ciuman basah. Lidahnya menari di sela bibirku, kami berpagutan, berdiri doyong dari kedua sisi berseberangan.

“Mmmmmhhhh.. Mmmmmmmmmm.. iya juga yah, kopinya jadi enak kalo pake french kiss. hihi..” Lily mendecakkan lidah, menggoda, menggemaskan..

“Bukan french kiss, french press!” seruku, bergerak mengitari meja, menggelitik pinggangnya.

Lily menggeliat kegelian, berbalik menyerang. Kami lalu berkejaran di ruang tengah, beranda, ruang tengah, ruang tamu lalu kembali ke beranda. Kutangkap tubuhnya, lalu kubopong berdiri, kami berciuman mesra, lama sekali.

Saat menarik wajah, terengah, Lily berujar lagi,

“Ciuman pagi, pahit-pahit kopi.. hihi..”

“Kamu tuh ya, jangan suka ngledekin kopi. Kopi itu minuman yang penuh perencanaan, bahkan dari mula dia ditemukan. Ga kayak teh, ditemukan tanpa kesengajaan.”

Aku berjalan kembali ke beranda, aku duduk kembali, kuletakkan Lily duduk menyamping di pangkuanku. Seperti biasa, obrolan santai seperti ini akan membawa kami ke sebuah diskusi biasa, asimilasi pikiran walaupun temanya sederhana.

“Maksudnya? Masa sih kopi ditemukan pake rencana?” Lily duduk tegak, lengannya di belakang leherku. Diraihnya sepotong roti, menyuapiku, lalu mengigitnya juga.

“Gini yah, proses seduh teh konon ditemukan oleh seorang berkebangsaan china. Jaman dulu dia mandi berendam di kolam air panas, lalu selembar daun teh kering jatuh ke airnya. Orang itu melihat air berubah warna jadi kuning kehijauan. Trus dicoba-coba deh untuk konsumsi..” kuusap pahanya sambil berbicara. Pandanganku ke arah meja sedikit terhalangi oleh dadanya yang membusung besar tepat di depan wajahku.

“Lha kalo kopi? Kira-kira insiden macam apa yang bisa membuat sebutir buah kopi matang, mengelupas sendiri, mengering, lalu tersangrai, kemudian tergiling halus dan terseduh air panas? Seseorang di masa lalu pastilah meneliti, mengkaji kandungannya, lalu bereksperimen untuk menemukan cara terbaik mengkonsumsinya. Iya kan?” lanjutku.

“Duh, yang slalu nongkrong di Ujung.." Lily mencolek hidungku.

Ujung adalah satu dari beberapa toko kopi dan perlengkapannya di Makassar. Letaknya di Jalan Somba Opu, pesisir pantai Losari.

"Kamu selalu seuring-uringan gini kalo bicara soal kopi?” lanjut Lily sambil tertawa.

“Gak. Hanya kalo kopiku kebanyakan gula, atau kebanyakan susu.” Kataku sambil membenamkan wajahku di belahan dadanya.

“Aaaiihh.. geli, Nant! Hey, berhenti, ih..” Lily menggeliat, mendorongku lalu bangkit berdiri.

Aku tertawa. Teh di tangan Lily tertumpah ke meja dan lantai.

“Kamu dihukum, kamu harus bersihin itu. Tuh, kain pel..” kata Lily menunjuk alat pel yang bersandar di dinding.

“Iya, iya.. digodain dikit aja kok pake hukuman..” kataku menggerutu. Kuhabiskan kopiku lalu mulai membersihkan tumpahan di lantai.

“Aku mau siap-siap ke kampus ya. Kamu ada kuliah gak? Kalo gak, kamu di sini aja. Aku pulang cepat kok.” Lily bertanya, aku pura-pura tidak dengar.

“Ih, kok ngambek sih, dasar ingusan.. hihi..” Lily mendekatiku, memelukku dari belakang.

“Lha habis, masak adik dihukum cuma gegara becanda tadi, ish ish ish..” aku memanyunkan bibir.

Lily mengecup pipiku, badannya yang sedikit lebih tinggi memudahkan jangkauannya ke wajahku. Dikecupnya lama, berkali-kali, lalu berjalan ke arah dalam,

“Kata siapa hukumannya gara-gara yang tadi?”

“Lha, trus, salah adik apa dong?” tanyaku menoleh.

“Suruh siapa, semalam dipanggil masuk, malah ngobrol doang, aku ga diapa-apain.. nggantung, tauk..”

Lily melangkah santai ke kamarnya, meninggalkanku dengan mulut setengah ternganga. Itu ekspresi alami paling bloon yang pernah terpasang di sana..

***

Sunyi dan semarak malam, bertabur kilau bintang
Bulan pun naik perlahan, tersipu..
Kau dan aku tenggelam, dalam dekapan cinta
Tanpa suara berbincang, dua jiwa..


Desah napas terdengar lirih, beriringan, dalam pola kacau tidak beraturan. Ritmis, dinamis, indah, terkadang menyakitkan. Kami terlena dalam pejam mata, tangan dan kaki di mana-mana.

Malam selalu indah sejak aku bersama Lily. Seperti malam ini, kami berpeluk, dalam paradoks percumbuan; tubuh membelit saling menghangatkan, namun megap-megap mencari lega kepanasan..

“Aaaaahhh.. Nanta.. aku mau kamu..”

Lily memelukku erat, menjeritkan mantra birahi, dengan namaku di dalamnya..

***

Sungguh aneh cara kerja otak manusia. Tidak seperti mesin, yang ketika algoritma sudah diatur dari semula, maka perintah selanjutnya akan dilaksanakan sesuai polanya. Manakala sebuah software dibuat untuk tidak menginput sesuatu, maka demikianlah adanya, sampai dimasukkan perintah baru.

Setiap malam bersama Lily membuat pattern wanita ideal dalam diriku berangsur berubah. Mengingat Lily, berarti membayangkan Lily dalam paket utuh. Mata yang berbinar cerdas, rambut sebahu, kulit putih terawat, pinggang ramping dan perut rata, menyangga sepasang payudara yang besar, bulat dan membusung. Mengkhayalkan Lily, tidak lepas dari mengingat sikapnya yang dewasa namun manja, mandiri dan ceria, dengan wawasan yang meledak-ledak, siap berdiskusi namun tidak jarang menggoda.

Awwe, indo’ku le.. putramu dilanda asmara. Algoritma kriteria wanita di kepalaku berubah, menambahkan entry baru bernama Andi Liliana.

Rasa risih di antara kami juga menguap hilang. Perasaan sebagai orang asing sudah tergantikan dengan kebutuhan akan keberadaan satu sama lain. Aku memandang Lily sebagai gadis yang harus kulindungi, kubuat tertawa setiap waktu, kujauhkan dari bosan dan sedih.

Percintaan erotis kami juga membawa hal baru bagiku dan Lily. Keterbukaan dalam kepribadian kini diikuti dengan keterbukaan fisik. Eksplorasi jarak dekatku di area paling intim tubuhnya membuat Lily kini tidak canggung lagi berganti baju di dekatku, bahkan mengganti celana, dengan mataku lekat menatapnya. Iya, suhu sekalian, cunnilingushampir setiap waktu kulakukan. Lily menikmati sex oral yang sudah kuperkenalkan beberapa waktu berselang. Liliy menikmatinya, aku menyukainya.

***

Pelajar yang melanjutkan studi di jurusan yang kuambil kebanyakan adalah putra daerah. Minat menjadi guru memang paling banyak didapati di sekolah-sekolah luar kota Makassar. Di angkatanku, hanya ada 6 dari 178 orang, yang berasal dari SMA dalam kota, atau kaum pribumi, begitu kami menyebutnya.

Keuntungan menjadi kaum pribumi adalah pada rasa percaya diri. Pengalaman lebih dulu perihal trayek angkot, venue gaul, bahasa, selera humor lokal dan tempat nongkrong membuatku lebih luwes membawa diri. Tidak ada rasa takut atau malu, bahkan sejak masa-masa orientasi dan pengenalan kampus.

Suatu hari dalam rangkaian kegiatan orientasi, kami diharuskan berdiri mengantri di depan sebuah loket. Berpanas ria, kepala plontos, tanpa topi, tidak juga pet. Beruntunglah bagi para maba cewek yang berkerudung. Seperti seorang cewek sesama maba di barisan lain di sampingku, agak ke depan beberapa langkah.

Yang menarik mataku adalah sesuatu yang tersembul dari kantung tasnya di bagian samping, sebuah buku kecil namun tebal. Master of Game sebuah novel karya Sidney Sheldon, kukenali buku itu dari ilustrasi pada sampulnya.

“Hey,” bisikku. Dia menoleh, terkejut.

“Sudah sampai mana? MacGregor atau Blackwell?”

“Apa?” cewek itu terlihat bingung dengan pertanyaanku.

“Novelnya sudah dibaca sampai bagian mana? Masih di keluarga McGregor atau sudah tentang keluarga Blackwell?” lanjutku, masih berbisik.

Sedikitpun aku tidak pernah ragu memulai dialog semacam itu. Tidak pernah takut dikatakan SKSD. Jadi teman akrab atau dianggap sok dekat, pilihanku sederhana. Beruntung, kali itu cewek ini memilih yang pertama.

“Hoo.. buku ini. Aku baru mulai baca, masih tentang Jamie McGregor. Blackwell itu siapa?” tanyanya balas berbisik.

Baru kuperhatikan wajahnya saat itu. Cewek ini menarik, bahkan cantik. Yang menonjol padanya adalah paduan mata dan hidung, terlihat oriental meski berkerudung. Berkacamata persegi, dengan dagu sedikit berbelah.

Antrianku tiba-tiba bergerak lebih banyak ke depan. Aku berbisik singkat,

“Lanjut kapan-kapan yah.. Ohya, Ananta, Fisika.”

“Hara, Kimia.”

Kami jadi teman akrab setelah itu, dan..

***

Plak!

Lily menepuk keras bantalnya, pahaku.

“Aww.. kenapa?” tanyaku kaget, kata-kataku menggantung di udara.

“Ceritanya kok kepotong begitu? Kok langsung jadi akrab? Mana proses pedekate lanjutannya?” Lily uring-uringan.

“Ya gak ada pedekate lah, Cuma berkenalan, kan.. perih nih..” kataku mengusap pahaku, di tempat yang tadi ditepuk Lily.

“Kamu aja yang ga ngerti. Cewek diajak ngobrol tentang sesuatu yang dia sukai, pada saat-saat yang gak terduga, oleh cowok sepantaran yang ga jelek, itu pasti dirasa sebagaimovement. Itu pedekate bagi mereka, bagi kami.” Lily ikutan mengusap-usap pahaku, bergeser mengecupnya, seperti biasa.

“Duh, mau bilang aku cakep aja pake belok-belok gitu..” aku tergelak.

“Woi, aku ga bilang kamu cakep kok. Aku bilang, kamu ga jelek. Itu beda, tauk..”

Aku semakin keras tertawa. Lily bangkit menggelitiku, mencubiti perutku.

“Cakep itu segini,” kata Lily mengangkat tangan kanan sejajar matanya. Lalu katanya,

“Kalo “ga jelek,” itu segini..” diangkatnya tangannya yang lain, sejajar dada.

“Oke, oke, aku ga cakep juga ga jelek. Apapun kah, asal sama kamu.” Kataku tertawa lagi.

“Ih, jijik ih, ngrayu..”

Lily kembali rebah di pangkuanku.

“Trus si Hara ini sekarang gimana? Masih sering ngecengin kamu?”

“Ga ada ngeceng-ngecengan. Aku sama dia cuma sering ngobrol, biasanya tentang bacaan. Selera baca kami banyak beririsan.” Aku bersandar di pilar rumah. Malam itu kami pacaran melantai di beranda. Selembar selimut tebal menjadi alas dudukku, dan alas tubuh Lily yang berbaring di pangkuanku.

“Itu gak sepenuhnya kebetulan, lho, Nan. Aku serius.” Lily menegaskan wajah saat aku tampak akan tertawa.

“Pada mulanya mungkin kebetulan saja, tapi selanjutnya Hara bakal nyari tau buku-buku yang kamu baca, trus ikutan baca juga, hanya biar bisa nyambung ngobrol sama kamu.”

Dengan ragu, aku bertanya,

“Kamu cemburu?”

“Bukan, ini bukan cemburu yang bicara, tapi aku, dalam sudut pandangku sebagai cewek.”

“Kamu mungkin tidak sadar, kamu punya sesuatu tentang kata-kata. Memandang wajahmu mungkin tidak bikin jatuh hati seketika, tapi duduk ngobrol sama kamu itu bisa bikin cewek geer, lho.”

Lily terus bicara, matanya lurus menatap langit-langit rendah beranda. Kubelai rambutnya. Lily terlihat serius dalam setiap kata-kata.

Setelah makan malam di luar tadi, kami langsung pulang, mandi – terpisah lho suhu, belum mandi sama-sama – lalu duduk melantai sambil memutar musik di beranda. Lily bercerita tentang harinya di kampus siang tadi. Tentang seorang seniornya satu angkatan, yang terus-menerus melakukan pendekatan. Aku selalu merasakan sesuatu saat Lily bercerita tentang pria-pria yang mendekatinya. Dan Lily tidak pernah melebih-lebihkan, aku sering menyaksikan sendiri hal ini.

Selalu kurasakan sesuatu saat Lily menceritakan hal seperti ini. Semacam rasa terancam. Lily mungkin merasakannya malam itu, jadi dimintanya aku gantian bercerita padanya tentang teman cewek yang kuanggap dekat. Maka kumulailah bercerita tentang Sahara, teman kuliah dari jurusan sebelah.

“Ngobrol sama kamu itu bikin geer. Kamu kalo ngobrol, kliatannya ngasih perhatian sama lawan bicara kamu sepenuhnya. Kamu bukan cuma good-looking tapi juga good-talking. Cewek suka jatuh hati karena itu. Hey, aku serius nih..”

“Cewek sangat suka kalo apa yang dia sampaikan diperhatikan. Kami suka kalo ide kami dianggap serius. Apalagi kalo yang kami sukai juga dihargai. Kamu harusnya lihat cara Riska dan Iyang ngliat kamu kalo kamu lagi ngajar di lembaga, atau lagi ngomong di rapat. Apalagi kalo kamu lagi ngobrol becanda sama mereka. Mereka itu sering nitip salam lewat aku, tauk..”

“Sekali lagi, aku ga cemburu, Nanta, kamu bebas sesukaan di luar sana, tapi di ujung hari kamu harus balik ke aku..”

Lily menarik wajahku mendekat, ah, manga ecchi itu tidak sepenuhnya benar. Sulit mencium kekasih pada posisi ini. Menunduk sedalam apapun, bibir tidak akan saling menjangkau jika kekasihmu rebah di pangkal paha, haha..

Lily bangkit menyambut bibirku. Sebelah lengannya melayang melingkari leherku, sebelah yang lain bertumpu di lantai.

“Mmmmmhhh.. di sini kamu bebas ngapain saja.. Mmmmmmmhhhh..”

“Bebas?”

“Bebas..”

“Boleh ini?” kutarik tubuhnya mendekat, kami duduk bersilangan dengan rapat. Kembali kuselami bibirnya yang penuh, kulumat, kukulum, kugigit. Lily menjerit kecil, lalu tersenyum.

“Boleh ini?” kuturunkan ciuman ke lehernya.

“Boleh.. Ahhhh..”

“Ini?” kuremas payudaranya yang membusung, terasa lembut dalam balutan kaos tipis dan bra sport.

“Terusin.. Aaaaahhhh.. Nanta..”

Lily menegakkan tubuh, menarik wajahku ke bawah, ke tengah payudaranya, membenamkan wajahku di sana.

Aku terengah – nyaris – kehabisan napas. Kugerakkan wajahku mencari udara. Lily merasakan ini sebagai kenikmatan. Wajahku ditariknya lebih rapat, terbenam lebih dalam..

Kuangkat wajahku, kuterkam tubuhnya rebah ke belakang. Kualihkan cumbuan kembali ke wajahnya, mengarahkan bibirku ke celah bibirnya yang merekah terbuka.

“Mmmmmmmmhhhh..” Lily menyambut ciumanku, lengannya terulur ke bawah, menarik lepas kaosku melewati kepala.

Lily selalu suka membuka kaosku saat sudah seperti ini. Bagian dari bawaan pribadinya yang selalu ingin dominan. Aku suka diperlakukan begitu, membuatku merasa lebih diinginkan.

Musik mengalun lembut, mengiringi gerak tubuh kami yang khusu’ dalam cumbu, berlayar dalam gairah yang meluap tanpa tumpah.

Beralaskan selembar kain kami bergulingan. Saling tindih bergantian. Selimut alas sudah terlipat, tergulung, lalu terlontar berantakan. Kami tidak peduli. Adalah kehangatan yang kami buru, menggalinya berdua dalam liar cumbu.

“Mmmmmmmhhhhh.. ke kamar.. Li..”

Pertanyaanku teredam lumatan bibir Lily. Dia menggeleng, ganti menindihku. Sejenak Lily menegakkan tubuh. Mata kami bertemu, saat Lily menarik lepas kaosnya ke atas.

Seperti biasa, aku langsung bangkit, tidak ingin membuang waktu, kulepaskan kait bra di punggungnya, membebaskan kedua gunung kembarnya yang melembung indah.

Ya, suhu sekalian, kini aku dapat melihat keindahan dari bentuk ini..

Tanpa sadar, kami bugil sepenuhnya. Berbaring dalam peluk, rebah pada sisi tubuh kami berhadapan. Kaki Lily melingkari tubuhku, menjepit pinggangku seolah takut kutinggalkan.

Sebelah pahanya terjepit di antara kedua kakiku, menekan batang kejantananku. Tubuh kami bergerak menggeliat, mengikuti irama pertautan bibir kami yang saling melumat, mendorong dalam ciuman panjang penuh gairah.

Kubalikkan badan Lily terlentang, kutindih sebagian. Buah dada Lily membulat, terlihat lebih besar dalam posisinya menentang udara, menghadap langsung ke wajahku. Kusambar putting terdekat dengan mulutku, kuremas keras, gemas.

“Ughhhh.. Nanta.. gigitin aku.. Aaaahhhh..”

Sebelah tanganku naluriah bergerilya. Bergerak turun menyusuri garis perut, tepat menuju ke celah basah di antara kedua kakinya.

“Akh.. Jangan, sakit..”

Lily merintih saat jariku menggesek klitorisnya yang menyembul kecil.

“Kering, ke sini dulu.. Iyah, di situhhh.. Aaaahhh..” dituntunnya jariku ke bagian terbawah vaginanya. Pusat kosmos tubuhnya yang kini membanjir basah. Titik awal penyatuan tubuh dua manusia.

“Oooouuhh.. Nanta.. terus, sayang.. sekarang ke atas..”

Lily meminta dengan lirih. Mengarahkan permainanku yang – sebenarnya – sudah terlatih. Jika Lily senang dengan pikiran bahwa aku sama hijaunya dengannya, biarkanlah begitu saja.

Kumainkan terus jariku di sana. Di lembah indah nan basah milik Lily. Setiap gerakan kecil jariku di vaginanya, menimbulkan gelinjang keras di tubuh Lily, ditingkahi jerit kecil, seperti menandingi musik yang tengah mengalun. Aku dan Lily, ventriloquist dan boneka birahi.

Dengan mendadak, Lily merenggut tanganku dari selangkangannya. Dipeluknya tubuhku, menarikku menaiki tubuhnya. Kakinya terentang membuka, batang penisku jatuh tepat di celah vaginanya.

Kami berpelukan rapat, kaki Lily bertumpu pada telapak, tertekuk menegakkan lutut. Wajahku kembali turun ke dadanya. Rasanya belum puas menghisapi kuncup payudaranya yang kini mencuat, berdiri menantang.

Tangan Lily menangkup pantatku yang bergerak sendiri, memompa, menekankan batang penisku tepat di klitorisnya.

“Aaaaaahhh.. Nanta.. Ahhhh..”

Kuangkat wajahku dari gunung indah Lily, kutatap matanya. Pinggulku terus bergerak, dalam remasan telapak tangan Lily yang menangkup hangat.

“Aaaaahhh.. Nanta.. aku mau kamu..”

Kutatap matanya lekat-lekat. Lily kini melingkarkan kedua lengannya di leherku, balas menatap.

“Aku mau kamu.. ambil aku, Nanta..”

Kukecup lembut keningnya, matanya, pipinya.

“Kamu yakin, Li?”

“Kamu gak yakin?” tanyanya balas menggoda.

“Semua denganmu bagiku adalah yang pertama, Nanta.. apakah ini juga pertama buat kamu?” Lily melanjutkan bertanya.

Pikiranku yang berkabut mengarahkanku pada dua pilihan. Jujur dan merusak suasana, atau berdusta karena tidak ingin kehilangan keindahan ini.

Petikan gitar mengganti alunan biola, Kla Project melagukan bait Romansa..

Aku mengangguk mantap.

Lily tersenyum, mencium dalam bibirku, lalu membuka kakinya, memberiku jalan yang lebih leluasa.

Kumasuki tubuhnya dengan lembut. Tidak kubiarkan Lily merasakan sakit. Aku bergerak sangat perlahan, dengan ritme teratur dan lambat. Lily mendesah lembut, menikmati setiap gerak kecil yang kulakukan.

Tertiup aroma bunga mengantarkan nikmat gairah s’mara
Terlantun untaian mantra; duhai bersemilah cinta kita
Tersiram prahara kasih, tersenyumlah, dan setia dari waktu ke waktu..


“Aaaaahhh.. Ahhhhhhhh.. Aaaaaaahhh..”

Mata Lily terpejam, terhanyut dalam desir indah saat tubuh kami menyatu, kian rapat, semakin dalam.

Rasanya berjam-jam, sampai akhirnya penisku terbenam sepenuhnya. Kusentuh bibir Lily perlahan, dia membuka mata.

“Rasa?”

Sebuah pertanyaan klasik pria, saat merasa mendominasi pasangannya.

“Sedikit perih.. ahhh.. tapi gak sakit, ahh, Nanta.. penuh sekali rasanya..hh..”

Lily sulit menahan desah. Suaranya seperti sedang terhimpit dalam ruang sempit.

Lalu aku mulai menggerakkan pinggulku. Mata kami tetap bersitatap. Mulutnya terbuka, menganga tanpa sadar, saat ujung terdepan tubuhku, bergerak menggesek pusat syaraf sensori di bawah perutnya.

“Ooouuuhhh.. Ahhhhhh.. Nanta.. kamuu.. Ahhh..”

Pengalaman menguntungkanku, ketabahan dan kesiapan Lily memantapkan gerakanku. Kugerakkan pinggulku dengan ritme konstan. Kuatur napasku setenang mungkin. Pengalaman pertama kekasihku ini haruslah indah. Harus berbeda dari perawan lain di seluruh dunia.

“Aaaahh.. Nanta.. Nantaaaa..”

Lily memelukku erat, menjeritkan mantra birahi, dengan namaku di dalamnya.

Aku terus bergerak memompa. Dangkal, dangkal, dangkal, lalu dalam. Pola yang sama, berulang, teratur.

Naluri dan ketenanganku membuatku dapat merasakan pendakian yang dirasakan Lily. Aku dapat memperhitungkan detik-detik menjelang Lily mencapai puncaknya. Tanpa mengubah ritme, kutambahkan tekanan pada setiap tusukanku.

Lily menggelinjang hebat. Aku tahu Lily akan sampai beberapa saat lagi. Kutambahkan tekanan. Saat ini setiap tusukanku adalah tusukan penuh, namun tetap dengan ritme yang sama.

“Aaahhh.. Ahhhh.. Nantaa.. Oouhhh.. Ahh.. Ooooooooohh.. Nantaaaaaaaaa..hhh..”

Lalu suara seolah disihir hilang dari tubuhnya..

Tubuhnya menegang, kepala Lily seperti ditarik ke belakang. Kurasakan rembesan cairan yang semakin membanjir, membasahi titik penyatuan tubuh kami. Tidak kuhentikan gerakanku, aku akan tiba beberapa detik lagi.

Kucabut penisku tepat sebelum kusemburkan lahar panasku.. Lahar itu meruah, membanjiri perut Lily yang rata, dalam trance-nya yang tidak kunjung reda.

***

“Jadi aku boleh semauku di luar sana, asal selalu kembali ke kamu?” tanyaku pada Lily, di suatu waktu pada malam itu. Malam di mana kami mereguk indahnya nikmat surgawi yang sama, berkali-kali.

Lily tidak menjawab, dicubitnya perutku, “Memangnya kamu mau? Sama siapa? Sahara?”

“Haha, nanya doang, kok, kan kamu juga yang duluan bikin pernyataannya..” kubelai pipinya, Lily memejamkan mata. Kami kelelahan, nyaris kehabisan tenaga.

“Kamu beneran belum pernah sebelumnya? Sama Husna juga belum?”

Dalam lena, kurasakan kepalaku menggeleng pelan. Memberikan jawaban tanpa kata.

Jawaban yang kusesali hampir setiap hari setelahnya..

0 comments :

Post a Comment